Mediaumat.id – Langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tengah mengajukan pinjaman US$ 550 juta atau Rp 8,3 triliun (kurs Rp 15.235) untuk menambal bengkak proyek (cost overrun) Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada China Development Bank (CDB) dinilai Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan bisa melanggar undang-undang.
“Upaya Kementerian BUMN mencari pinjaman luar negeri bisa melanggar undang-undang keuangan negara, bahwa hanya pemerintah pusat yang dapat menerima pinjaman dari lembaga asing dengan persetujuan DPR, atau melanggar kesepakatan pembiayaan proyek bahwa 75 persen dibiayai pinjaman, atau bahkan melanggar konstitusi, karena melanggar wewenang DPR,” ujarnya dalam rilis yang diterima Mediaumat.id, Jumat (17/2/2023).
Anthony menuturkan, Kementerian BUMN wajib menjelaskan kepada publik, siapa sebenarnya yang meminjam kepada CDB. Apakah pinjaman luar negeri itu atas nama Kementerian BUMN, atau atas nama Kementerian Keuangan untuk diteruskan kepada PT KCIC, atau atas nama PT KCIC, atau atas nama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) yang memiliki 60 persen saham di PT KCIC?
Menurutnya, penjelasan Kementerian BUMN ini sangat penting karena empat hal. Pertama, Kementerian BUMN tidak boleh melakukan pinjaman (baik dalam negeri maupun luar negeri) untuk dirinya sendiri.
Kedua, hanya Kementerian Keuangan yang boleh melakukan pinjaman atas nama Republik Indonesia, setelah mendapat persetujuan dari DPR atau sudah tercantum di rencana anggaran pinjaman (pembiayaan) di APBN.
Ketiga, kalau pinjaman tersebut atas nama PT KCIC, kenapa harus Kementerian BUMN yang cari pinjaman? Dan kenapa hanya 550 juta dolar AS porsi Indonesia saja, bukankah total cost overrun 900 juta dolar AS?
“Apakah Kementerian BUMN, dalam hal ini pemerintah, menjamin pinjaman untuk PT KCIC?” tanya Anthony.
Keempat, kalau pinjaman luar negeri tersebut atas nama PT PSBI, apakah berarti digunakan sebagai tambahan modal disetor untuk menambal cost overrun yang menjadi tanggung jawab Indonesia? Kalau benar, berarti Indonesia menanggung seluruh cost overrun dari modal pemegang saham, bukan dari pinjaman proyek.
“Hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan pembiayaan proyek, yang menyebutkan 75 persen dibiayai dari pinjaman. Dan apakah pihak Cina juga menanggung cost overrun ini dengan tambahan modal?” kata Anthony.
Pembengkakan Biaya
Anthony menjelaskan, pembekakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sesuai kesepakatan harus ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai porsi kepemilikan saham, yaitu Indonesia 60 persen, Cina 40 persen. Dan cara pembiayaan cost overrun disepakati mengikuti cara pembiayaan proyek, yaitu 25 persen dari modal pemegang saham, dan 75 persen dari pinjaman.
Jadi kata Anthony, 25 persen dari cost overrun sebesar 1,2 miliar dolar AS, atau sekitar US$ 300 juta (25 persen x 1,2 miliar) dolar AS, dibiayai pemegang saham. Dan porsi Indonesia 180 juta (60 persen x 300 juta) dolar AS. Sedangkan sisa 75 persen atau US$ 900 juta (75 persen x 1,2 miliar) dolar AS seharusnya dibiayai dari pinjaman. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab mencari pinjaman seharusnya PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), yaitu perusahaan patungan antara Indonesia dan Cina sebagai pemilik proyek kereta cepat.
“Tapi anehnya kenapa yang mencari pinjaman malah Kementerian BUMN seperti diberitakan di banyak media? Dan lebih aneh lagi, kenapa jumlah pinjamannya hanya untuk porsi Indonesia saja, yaitu 550 juta (60 persen x 900 juta) dolar AS? Padahal yang perlu dibiayai dari pinjaman seharusnya 900 juta dolar AS,” pungkas Anthony.[] Agung Sumartono