Utang Indonesia dalam Bahaya, PEPS Ungkap Alasannya

Mediaumat.info – Terkait pernyataan utang Indonesia masih aman dan terkendali yang dilontarkan Kementerian Keuangan RI, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan kembali menegaskan yang terjadi justru sebaliknya.
“Rasio utang luar negeri Indonesia saat ini sudah dalam posisi cukup bahaya,” ujarnya juga dalam keterangan tertulis yang diterima media-umat.info, Jumat (28/3/2025).
Menurutnya, ada beberapa alasan. Yang pertama, data dari rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB pada 2019 saja, sudah mencapai 35,5 persen, dan masih menurut Anthony, angka ini seharusnya sudah mengindikasikan peringatan bahaya.
Ambil misal pada akhir 2019, total utang luar negeri mencapai 404,5 miliar dolar AS atau Rp5.622,0 triliun (kurs Rp 13.900), sedangkan PDB di tahun yang sama Rp 15.833,9 triliun.
Memang indikator untuk menentukan batas aman dari rasio utang, menurut pendapat umum di bawah 60 persen. Bahkan batas 60 persen ini masuk dalam undang-undang keuangan negeri ini.
Selanjutnya, agar utang pemerintah bisa dikatakan terjaga dalam batas angka keramat 60 persen tersebut, maka defisit anggaran juga dibatasi hanya 3 persen dari PDB.
Namun bisa dipastikan tidak ada dasar yang jelas, mengapa angka tersebut diadopsi menjadi batasan aman. “Kita mengadopsi angka-angka tersebut begitu saja, mungkin tanpa mengerti mengapa,” papar Anthony.
Dengan kata lain, tidak dijelaskan secara detail dasar ditetapkan batas defisit 3 persen dan batas utang 60 persen. “Ada yang mengatakan bahwa batas utang 60 persen tersebut berdasarkan dua kali rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang ketika itu rata-rata sekitar 30 persen,” paparnya lagi, yang berarti masih tetap tidak menjelaskan asal-usulnya.
Alasan kedua, kemampuan Indonesia menghasilkan devisa sangat lemah, bahkan sudah negatif. Hal ini dapat dilihat dari neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit sejak lama. Yang terjadi malah devisa terkuras keluar negeri.
Padahal seperti diketahui, utang luar negeri hanya bisa dibayar kalau negara mempunyai cukup devisa. Sebaliknya, kalau negara tidak mampu menghasilkan cukup devisa maka utang luar negeri berisiko tidak bisa dibayar ketika jatuh tempo.
Kondisi inilah, kata Anthony, yang membuat ketahanan utang luar negeri Indonesia sangat rentan.
Waspada Skema Ponzi
Bahkan ibarat investasi yang menggunakan skema Ponzi, kemampuan Indonesia membayar bunga dan utang luar negeri saat ini tergantung dari ketersediaan utang luar negeri pula.
Bertambah celaka, permainannya bukan lagi apakah Indonesia mampu membayar, tetapi juga apakah pihak asing dalam hal ini kreditur, bersedia atau tidak untuk terus memberi utang.
Makin bertambah celaka, ketika asing berhenti, atau menunda memberi utang baru, maka kurs rupiah akan anjlok. Tengoklah yang terjadi di tahun 2008, 2011, 2013, 2015, 2018 dan 2020 (Maret). Demikian, sambungnya, neraca pembayaran Indonesia defisit dan cadangan devisa pun menjadi turun.
Sehingga kondisi ekonomi pemerintah saat ini memang sangat tidak sehat dan tidak aman. “Indonesia harus menarik pinjaman (dalam bentuk investasi langsung dan investasi portofolio) untuk sekadar membiayai operasional transaksi berjalan (termasuk bunga dan dividen), dan juga untuk membayar pokok utang,” tandasnya menjelaskan.
Beban Fiskal
Lebih lanjut, utang pemerintah ini sangat berisiko membebani fiskal berupa beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak. “Ketahanan fiskal pemerintah saat ini sangat berisiko,” cetusnya, sembari memaparkan beberapa fakta alasan.
Pertama, rasio beban bunga utang terhadap penerimaan pajak (sumber utama APBN) mencapai 17,8 persen pada akhir 2019. Jauh lebih tinggi dari batas aman rujukan IMF yang sebesar 10 persen. Bahkan pada akhir Mei 2020, mencapai 27,7 persen karena penerimaan pajak rendah.
Di lain pihak, tambahnya, besarnya defisit anggaran juga menyebabkan utang meningkat tajam, sehingga beban bunga utang juga makin membengkak.
Kedua, keseimbangan primer yang merupakan indikator kemampuan pemerintah dalam membayar pokok dan bunga utang, juga mengalami defisit sejak 2012.
Di tahun 2020 saja, ungkapnya, keseimbangan primer mencapai lebih dari Rp600 triliun, 3,5 – 4 persen dari PDB. Tak ayal, sebagaimana disinggung sebelumnya, dilakukanlah penanganan dengan apa yang disebut sebagai skema Ponzi, dalam hal ini beban bunga utang harus dibayar dari penarikan utang lagi.
Ketiga, rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang terus melemah. Pada periode 2004 hingga 2011, misalnya, mencapai rata-rata 17,6 persen per tahunnya. Berlanjut pada 2016 yang hanya 3,6 persen, padahal ketika itu ada program tax amnesty.
Belum lagi pada 2018 dan 2019 masing-masing hanya 1,62 persen dan 1,57 persen, yang menurut Anthony, membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun menjadi di bawah 10 persen pada tahun 2019. Tak jauh berbeda juga terjadi pada 2021 dan 2022.
“Artinya, defisit membengkak, beban bunga dibayar dengan utang baru dan utang pemerintah akan naik dengan cepat,” jelas Anthony.
Karenanya, risiko eksternal (external sustainability) maupun fiskal (fiscal sustainability) Indonesia saat ini bisa disebut sangat tinggi karena sangat berpotensi memicu krisis valuta dan krisis fiskal.
Terlebih, karena Indonesia terjebak dalam penumpukan utang berikut skema Ponzinya, secara tidak langsung juga menunjukkan kondisinya sudah kritis. “(Ini) menunjukkan utang pemerintah dalam kondisi kritis,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat