Utang AS Tembus US$33 T, FAKKTA: Meningkatkan Resiko Krisis Keuangan Global
Mediaumat.id – Utang Amerika Serikat (AS) yang saat ini mencapai US$33 triliun (Rp507 ribu triliun), dinilai oleh Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak dapat meningkatkan resiko krisis keuangan global.
“Utang AS yang besar tersebut jika tidak bisa dikelola dengan baik oleh AS maka hal itu akan meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan global,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Jumat (15/9/2023).
Menurut Ishak, utang AS yang besar tersebut dapat berdampak buruk pada perekonomian AS. Ia melihat ada beberapa risiko yang dapat ditimbulkan oleh utang yang besar tersebut.
Pertama, beban pembiayaan bunga utang pemerintah AS terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh besarnya utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah AS, serta kenaikan suku bunga yang dapat meningkatkan biaya bunga yang harus dibayarkan.
Kedua, utang pemerintah AS tersebut dalam bentuk obligasi, yang berarti bahwa investor akan menuntut pembayaran bunga secara berkala. Jika suku bunga naik, maka beban bunga yang harus dibayarkan oleh pemerintah AS juga akan meningkat.
Ketiga, utang yang semakin besar tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran para investor yang memegang surat utang AS. Jika perekonomian AS semakin memburuk, maka tidak mustahil para investor tersebut akan melepaskan surat utang AS sehingga akan memperburuk kondisi AS.
Selain itu, kata Ishak, dampak lanjutannya adalah nilai tukar dolar AS akan merosot, sehingga biaya impor menjadi semakin mahal. Hal ini dapat menyebabkan inflasi di AS menjadi tinggi. Dan kebijakan Bank Central atau The Fed pasti akan menaikkan suku bunga acuan, sehingga AS akan jatuh ke jurang resesi.
Ishak melihat, dampak tingginya utang AS terhadap ekonomi global selama ini masih tidak begitu bermasalah. Sebab para investor dan negara-negara yang memiliki surplus neraca pembayaran cenderung menyimpan uang mereka dalam bentuk dolar AS yang masih dianggap mata uang paling aman di dunia. Hal ini karena AS masih menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Namun, tutur Ishak, jika kondisi AS memburuk, maka kepercayaan terhadap dolar AS tersebut akan menurun. Sehingga hal itu akan meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan global.
Terakhir, Ishak mengatakan, di dalam pandangan Islam, utang luar negeri saat ini statusnya haram, sebab seluruhnya menggunakan riba. Riba adalah tambahan yang diambil dari utang tanpa adanya imbalan. Islam melarang riba karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Di samping itu, pemberian utang dari negara-negara maju ke negara berkembang disertai dengan syarat-syarat yang menjerat mereka.
“Hal ini dapat menyebabkan negara berkembang menjadi semakin tergantung pada negara maju dan sulit untuk berkembang secara mandiri,” pungkas Ishak.[] Agung Sumartono