Mediaumat.id – Pengasuh MT Darul Hikmah Ustaz Muhammad Taufik Nusa Tajau, S.Pd., M.Si. menanggapi pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang akan merekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespons tantangan zaman.
“Wong zamannya rusak kok malah dijadikan patokan, bagaimana,” tegasnya dalam Kabar Petang: Syariah Islam Butuh Diterapkan, Bukan Direkontekstualisasi, Jumat (05/11/2021) di kanal YouTube Khilafah News.
Ia memandang, justru yang diperlukan masyarakat sekarang ini lebih kepada implementasi fikih. Bukan malah semangat mengubah fikih yang sudah diwariskan oleh para pendahulu kita.
“Andai kaum Muslim sekarang ini, itu mereka mengamalkan hukum-hukum fikih dan hukum agama sebagaimana bapak-bapak mereka, niscaya mereka itu akan menjadi umat yang terdepan dan menjadi manusia yang paling berbahagia,” ucapnya mengutip kitab Syariatullah al-Khalidah karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani.
Taufik juga menjelaskan, istilah ortodoksi, sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang berarti pendapat yang benar. “Kalau bicara ortodoksi Islam itu kan berarti mengacu kepada nilai-nilai normatif, nilai-nilai keberagamaan yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah,” jelasnya.
Pernah Diusung
Taufik mengungkapkan, rekontekstualisasi fikih sebagaimana disampaikan Yaqut dalam pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) Ke-20 di Surakarta, 25 November 2021 dengan tema ‘Islam In a Changing Global Contex: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy’, juga pernah diusung Munawir Sjadzali, Menag Era Soeharto.
“Bedanya dengan sekarang kalau dulu Munawir Sjadzali itu mengusung ide itu, punya konsep yang jelas. Ada buku-bukunya bahkan,” terangnya.
Setelah pidato tahun 1985 tentang kontekstualisasi ajaran Islam, beber Taufik, Munawir Sjadzali lalu menulisnya di ‘Panjimas’. Hal itu juga ia lakukan di tahun 1988 dan 1995.
Bahkan, di tahun 1997, Munawir kembali menulis tentang ijtihad kemanusiaan semisal rekontekstualisasi hukum waris atau pun bunga bank. “Jadi apa yang diusung sekarang ini kalau melihat judulnya, itu judul 36 tahun yang lalu. Kita ini kurikulum, sudah ganti lima kali kita ganti kurikulum. Sementara kita kembali lagi ke sana,” ucapnya menyayangkan.
Lebih Radikal
Ia menilai, upaya rekontekstualisasi fikih ala Yaqut saat ini lebih radikal daripada yang dulu. Sebab, sampai wafat pun, Munawir Sjadzali tidak sampai mengotak-atik konsep jihad maupun khilafah.
Di sisi lain, selain anggapan konsep jihad dan khilafah tidak relevan lagi, beber Taufik, juga ada seorang dosen di salah satu universitas Islam saat ini yang menuliskan hukum wajib shalat Jumat menjadi sunnah.
Tak hanya itu, menjama’ shalat wajib tanpa uzur syar’i pun menjadi sebuah kebolehan. Sampai-sampai, batasan aurat sudah enggak dihiraukan sama sekali. “Ini bahaya kalau sudah sampai menyerempet ke level-level ibadah bahkan,” tegasnya.
Begitu pun khamar yang pada dasarnya haram, direkontekstualisasi oleh sebagian cendekiawan Muslim sehingga menjadi boleh. Asal tidak sampai mabuk atau sekadar untuk menghangatkan tubuh karena cuaca dingin.
Padahal, tambahnya, tidak ada sejarahnya para ulama dahulu mencari-cari dalil, apalagi dengan akalnya untuk menghapus sebagian hukum (takhsis) atau bahkan menghilangkan keseluruhan hukum (nasakh).
Taufik mengingatkan, sebetulnya suatu hukum Islam itu diturunkan untuk memperbaiki zaman dan kondisi masyarakat. “Apa yang tidak sesuai bukan berarti fikihnya yang harus disesuaikan. Tetapi harusnya zaman itu yang harus diatur dengan hukum-hukum yang telah Allah turunkan itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian