Ustaz Syamsudin: Islam Tetapkan Ketentuan Spesifik tentang Kesepakatan Negara

Mediaumat.id – Membahas suatu kesepakatan terkait konsep negara, Cendekiawan Muslim Ustaz Syamsudin Ramadhan an-Nawiy menegaskan, Islam telah jelas menetapkan ketentuan spesifiknya.

“Sesungguhnya Islam sudah menetapkan suatu ketentuan-ketentuan spesifik bagaimana kita itu membangun sebuah kesepakatan,” ujarnya dalam Kajian Fikih Politik Islam: Khilafah, Antara Kesepakatan Manusia dan Ijma’ Sahabat, Sabtu (2/7/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Hal itu ia utarakan berkenaan boleh tidaknya menolak hukum Allah SWT dengan alasan sudah ada kesepakatan sebelumnya. “Kapan kesepakatan itu harus dijunjung dan dilaksanakan, dan kapan kesepakatan itu ditolak bahkan harus dibubarkan,” terangnya.

Mempertegasnya, ia lantas menyampaikan hadits Nabi SAW, yang artinya, ‘Apa urusannya suatu kaum yang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Siapa saja yang mensyaratkan satu syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah maka tidak ada hak baginya, meskipun ia mensyaratkan seratus syarat (HR Bukhari).

Kemudian di hadits lain, ‘Setiap syarat yang tidak terdapat di dalam Kitabullah maka ia batil. Kitabullah lebih benar, dan syaratnya (syarat yang didasarkan Kitabullah) lebih besar dipercaya. Sedangkan wala’ (loyalitas) bagi orang yang memerdekakan (HR Ahmad).

Masih riwayat Imam Ahmad, tetapi dengan redaksi lain, ia mengutip perkataan Rasulullah SAW, yang maknanya kurang lebih sama, ‘Setiap syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla, maka syarat itu tertolak, meskipun mereka mensyaratkan seratus kali.’

“Mengapa saya perlu menyitir hadits-hadits ini? Karena sebagian orang itu menganggap semua kesepakatan, termasuk dalam politik, karena sekarang ini ada opini seakan-akan kalau ini sudah menjadi suatu kesepakatan, maka kesepakatan itu harus dipegang teguh, harga mati,” ulasnya.

Padahal menurutnya tidaklah demikian. Artinya, apabila kesepakatan dimaksud ternyata bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, tentu syarat itu harus ditolak.

“Mengapa? Katakanlah misalnya NKRI yang sekarang itu memiliki prinsip-prinsip kesepakatan sekularisme. Sedangkan sekularisme itu jelas-jelas suatu paham yang bertentangan dengan Islam,” tandasnya.

“Dan itu yang harus kita waspadai,” imbuhnya.

Sehingga seluruh prinsip untuk membangun urusan umat termasuk negara, pun harusnya sejalan dengan syariat Islam. “Artinya tidak boleh kita membangun suatu negara tegak di atas prinsip-prinsip di luar Islam,” ucapnya.

Lebih-lebih, prinsip dan paham yang jelas bertentangan dengan Islam. Seperti nasionalisme ataupun sekularisme.

Khilafah

Ialah khilafah, yang menurut Ustaz Syamsudin termasuk produk kesepakatan yang tidak boleh dilanggar oleh umat Islam. Bahkan perkara itulah yang seharusnya disikapi dengan ‘harga mati’.

Dengan kata lain, wajibnya umat Islam menerapkan syariah di dalam bingkai negara Islam, yakni negara khilafah, merupakan suatu perkara yang sudah disepakati oleh para ulama ahlussunah wal jamaah.

Sebutlah di dalam kitab-kitab kuning atau klasik, persoalan imamah/khilafah/imarah al-mu’minin terkategori bagian dari pilar agama Islam dan tentunya sudah disepakati secara bulat oleh mereka.

Semisal Imam al-Isfira ‘Ainiy di dalam kitab Al-Farq Bain al-Firaq, hlm. 323, yang menyebutkan, rukun ke-12 itu adalah imamah/khilafah berikut syarat-syarat kepemimpinan yang dijelaskan panjang lebar oleh beliau.

Begitu pula Imam An-Nawawi dalam kitab Raudlah al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftiin, Juz III, hlm. 433. ‘Menegakkan imamah/khilafah/imarah al-mu’minin adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu orang, maka wajib diserahkan kepadanya. Dan wajib baginya menuntut meski mereka tidak memintanya terlebih dahulu. Allah yang lebih mengetahui.’

Tak hanya beliau-beliau, sambung Ustaz Syamsudin, Imam Abu Muhammad Ali bin Hazm al-Andalusi adz-Dzahiri, di dalam kitab Maratibul Ijma’ Juz I, hlm. 124 juga menerangkan, yang artinya:

‘Para ulama sepakat bahwa imamah/khilafah/imarah al-mu’minin itu fardhu dan adanya imam itu merupakan suatu keharusan. Dan para ulama juga sepakat tidak boleh pada satu waktu di seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslim baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka ada di satu tempat atau di dua tempat.’

Pancasila

Lantas, menghubungkan istilah kesepakatan dengan konsep Pancasila dan NKRI yang saat ini diopinikan dengan sebutan harga mati, Ustaz Syamsudin menegaskan, ungkapan tersebut bertentangan dengan sejarah sebenarnya.

“Kalau dikatakan NKRI pada saat ini dan juga Pancasila itu harga mati, itu kalau menurut saya ahistoris,” ungkapnya, sembari menyampaikan sebuah peristiwa penting yang dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.

Adalah penyusunan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai bentuk kompromi antara kelompok yang menginginkan negara sekuler, dengan kelompok yang menginginkan tegaknya negara di atas asas Islam.

Tetapi setelah lima puluh dua hari yaitu dari tanggal 22 Juni 1945 hingga 17 Agustus 1945, terjadi tragedi penghapusan tujuh kata dan perubahan batang tubuh UUD 1945.

Tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, atas usul Mohammad Hatta, kata ‘Mukaddimah’ diganti menjadi ‘Pembukaan’, dan sila pertama ‘Ketuhanan dengan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ diganti ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.

Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi ‘Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’, pun diganti menjadi Pasal 29 UUD 1945, yaitu ‘Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa’.

Pada Pasal 6 ayat (1), juga begitu. Yang semula berbunyi ‘Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam, diganti menjadi ‘Presiden ialah orang Indonesia asli’.

Padahal sebetulnya kesepakatan berupa Piagam Jakarta menurut Ustaz Syamsudin, sudah menjadi semacam kemurahan hati kaum Muslim ketika berkompromi dengan kelompok-kelompok sekuler.

Dan sebetulnya pula, tambahnya, kaum Muslim yang diwakili tokoh-tokoh umat Islam kala itu, tidak setuju dengan berdirinya negara sekuler, alias tetap menginginkan negara Pancasila versi Piagam Jakarta.

Malah sebagaimana diketahui, sebelum Piagam Jakarta dijadikan jalan kompromi, sambung Ustaz Syamsudin, reaksi tokoh Muslim telah lebih dulu ditunjukkan oleh Ki Bagus Hadikusumo dengan mengungkapkan kemarahan dalam pertemuan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa hari setelah sidang PPKI selesai.

Maksudnya, Ki Bagus Hadikusumo saat sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945, berpidato untuk menangkis pernyataan kelompok nasionalis kebangsaan pada 29, 30 dan 31 Mei 1945 yang menginginkan tegaknya negara sekuler.

Dalam pidatonya, kata Ustaz Syamsudin, beliau mengatakan, ‘Dalam negara kita niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana berdasarkan budi pekerti yang luhur bersendi permusyawaratan dan keputusan rakyat, serta luas dan lapang dada, tidak memaksa tentang agama. Jika tuan-tuan benar-benar menginginkan keadilan kerakyatan dan toleransi maka dirikanlah pemerintahan ini atas dasar Islam. Karena Islam mengajarkan masalah tersebut.’

“Meskipun di situ tidak disebutkan misalnya khilafah Islamiah tetapi ini menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya proses ideologisasi yang terjadi di negara kita itu melalui satu diskusi yang panjang,” ujar Ustaz Syamsudin.

Tak hanya dari Muhammadiyah dengan sosok Ki Bagus Hadikusumo, tokoh-tokoh yang menghendaki negara Islam juga datang dari berbagai kalangan.

Di antaranya, KH A. Sanusi (PUI), KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakir (Muhammadiyah), KH Wachid Hasjim, KH Masjkur (NU), Sukiman Wirdjosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (penyadar sebelum perang), dan KH Abdul Halim (PUI).

Hal serupa juga ditunjukkan oleh Buya Hamka yang justru meyakini bahwa kompromi Piagam Jakartalah yang berhasil membuat kelompok gerakan kemerdekaan Islam dan kebangsaan itu bersatu.

Tak ayal penghapusan tujuh kata, sehari setelah kemerdekaan tersebut, bagi Hamka adalah tindakan tidak jujur, bahkan curang dari golongan kebangsaan.

Lantaran itu, Ustaz Syamsudin melihat, pembentukan NKRI dan juga proses ideologisasi negara justru menunjukkan bahwa dalam perjalanannya, termasuk suatu hal yang dinamis.

Bahkan, secara NKRI dan Pancasila yang diopinikan sebagai sesuatu yang tabu untuk diubah, menurutnya opini seperti itu tidak mewujud dalam realitas sejarah.

“Pancasila itu kan sebenarnya dinamis. Artinya juga diubah-ubah oleh tokoh-tokoh kemerdekaan,” ulasnya, seraya menerangkan sekilas tentang badan konstituante yang didirikan dalam rangka menyusun konstitusi (UUD) yang lebih lengkap dan menyeluruh, serta diharapkan mampu menyempurnakan UUD 1945, UUD 1949 (Konstitusi RIS), dan UUD Sementara 1950.

“Makanya pada tahun 1955 digelar pemilu, yang salah satu tujuannya adalah untuk membentuk Badan Konstituante,” paparnya.

Kesimpulan

Sekali lagi, tatkala menilai pidato-pidato para tokoh Islam di Sidang Konstituante di Bandung, antara bulan Desember 1956 hingga 5 Juli 1959, ia menarik kesimpulan yang sangat tegas, bahwa kelompok-kelompok Islam saat itu justru menolak Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.

Salah satunya, Fraksi Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili KH Muhammad Isa Ansyari tegas menolak Pancasila karena sumbernya sendiri, yakni Sukarno.

Menurutnya, Sukarno telah melakukan penafsiran yang menyesatkan atas Pancasila dengan menguraikan konsep gotong royong, hasil dari sila-sila Pancasila yang diperas.

Maksudnya, peleburan sila-sila menjadi gotong royong, menurut Isa Ansyari berarti meleburkan sekaligus melenyapkan kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi satu sila.

“Saudara ketua, teranglah sudah mengapa kami menolak Pancasla. Pengertian dan tafsirnya adalah kacau dan gelap, sumbernya keruh, yang menciptakannya sendiri telah membuat tafsiran yang sesat atasnya. Saya bertanya di dalam hati, Saudara Ketua, itukah Pancasila yang dibela dan dipertahankan oleh para pembelanya, di mana tafsir pengertiannya kacau dan balau. Tidak dapat dijadikan pegangan dan pedoman?” bimbang Isa Ansyari kala itu.

Tak hanya itu, lanjut Ustaz Syamsudin, penolakan juga tergambar dari pidato R Muhammad Syafii Wirahadikusumah dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), ‘…tiada suatu dasar yang sempurna selain daripada Islam’.

Fraksi Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) melalui Hj. Syamsiyah Abbas, tambahnya, juga memandang bahwa di dalam diri Pancasila bersemayam potensi multi tafsir yang membuat Pancasila tidak kokoh.

Paling tidak, kata wakil dari Perti menjelaskan, ada empat alasan dari penolakan tersebut. Pertama, mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Kedua, Islam yang dianut merupakan agama dan peraturan hidup. Ketiga, Islam bukan sekadar agama tetapi sudah menjadi adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, Islam menjamin toleransi yang besar.

Hal sama juga disampaikan Fraksi Masyumi. “Dengan sendirinya asas negara kita harus berdasarkan agama, bukan suatu rangkaian berupa ide yang dianggap diterima oleh umum sebagai Pancasila. Pancasila tidak dipercayakan sebagai agama. Kalaupun ada terumus di dalamnya sila ketuhanan, sumbernya, background-nya adalah sekuler, laddunya, tanpa agama. Ia bukan bersumber pada salah satu wahyu Ilahi,” urainya, menirukan pernyataan Muhammad Natsir.

Dengan demikian, dari seluruh pemaparan tersebut, Ustaz Syamsudin kembali menegaskan, ulama-ulama terdahulu ternyata menginginkan Indonesia diatur dengan Islam.

Sehingga kalau misalkan hari ini ada orang yang mengatakan Pancasila dan NKRI itu harga mati, sekali lagi ia menyimpulkan bahwa itu adalah suatu yang ahistoris.

“NKRI sendiri pernah berubah bentuk tahun 1950-an kalau enggak salah, ketika kemudian di pasca perjanjian KMB itu akhirnya Indonesia berubah bentuk menjadi RIS walaupun setelah cukup lama akhirnya kembali kepada bentuk NKRI lagi,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: