Ustaz MIY: Tak Ada Demokrasi yang Ada Korporatokrasi

Mediaumat.news – Penolakan terhadap UU Omnibus Law oleh berbagai pihak dinilai Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (MIY) bahwa saat ini tidak ada lagi demokrasi, namun yang ada korporatokrasi.

“Tidak ada lagi demokrasi yang ada korporatokrasi. Negara kita sedang meluncur ke sana. Rakyat hanya dijadikan legitimasi bagi korporatokrasi. Karena pemilu kan harus melibatkan rakyat. Tidak bisa tidak, harus melibatkan proses itu tapi di balik itu semua bekerja korporasi di belakang politisi, partai, birokrasi, bahkan menteri dan atasannya menteri. Itu korporasi semua. Itulah yang sekarang terjadi,” tuturnya dalam acara Fokus: Omnibus Law, Titik Nadir Demokrasi? Ahad (18/10/2020), di kanal YouTube Fokus Khilafah Channel.

Menurutnya, yang ada sekarang sudah bukan lagi demokrasi. Demokrasi kan kedaulatan di tangan rakyat? Tapi pada faktanya, suara rakyat diabaikan. Yang mengkritik malah dipersekusi. UU yang begitu rupa ditolak tetap saja diteruskan. “Jadi, sebenarnya siapa yang berdaulat? Di situlah kita menemukan bukti yang UU ini dibuat itu lebih untuk memberikan jalan bagi kepentingan korporasi,” ujarnya.

Ia menilai fenomena yang terjadi saat ini bahwa demokrasi meluncur menuju korporatokrasi. Korporatokrasi itu artinya kedaulatan di tangan perusahaan atau korporat yang jika ini terus berlanjut akan membawa negara Indonesia menjadi negara korporasi atau corporate state.

“Amerika itu corporate state hanya dia operasinya di luar negeri. Kepentingan-kepentingan bisnis yang utama dijalankan di luar Amerika. Mereka ambil keuntungan dari negara lain. Jadi, kalau ada susah, yang susah rakyat negara lain,” bebernya.

Tapi kalau korporasi di Indonesia, lanjut Ismail, mereka beroperasi di dalam negeri. Jadi, yang susah rakyat di dalam negeri. Sebagaimana proses legislasi UU Omnibus Law ini semakin hari semakin banyak terungkap keganjilan-keganjilannya.

“Ada keluhan mengenai UU kelistrikan, UU yang menyangkut pertambangan bahwa royalti 0 %, lalu ada yang menyangkut lingkungan dan banyak lagi. Saya kira seiring dengan waktu ketika publik membaca isinya yang sangat tebal itu akan semakin banyak terungkap bahwa UU itu akan lebih menguntungkan korporasi,” ungkapnya.

Solusi Islam

Ia menilai bahwa sebenarnya ini soal legislasi. Jadi, siapa yang berhak menetapkan hukum itu? Menentukan benar-salah dan halal-haram dari sekian banyak persoalan selain adanya UU administrasi.

“Demokrasi mengatakan bahwa hak pembuat hukum itu ada pada rakyat yang direalisasikan oleh wakil-wakilnya di parlemen. Tapi, terlihat mereka bekerja bukan untuk rakyat, melainkan siapa yang selama ini ngongkosi mereka, itulah korporasi. Kalau kita kembali kepada Islam, bahwa Al-Hakim atau yang membuat hukum, menetapkan benar-salah dan halal-haram itu, tidak ada lain adalah Allah SWT,” jelasnya.

Menurutnya, inilah perbedaan yang sangat mendasar. Jika Al-Hakim itu manusia, melalui wakil-wakilnya, masih bisa dinegosiasi. Masih bisa dibeli. Masih bisa dipengaruhi. Termasuk juga dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan diri pribadi. Tetapi, kalau hak menetapkan hukum itu pada Allah SWT, tidak bisa diintervensi karena sesuatu yang sudah bersifat tetap. Dan Allah SWT adalah Zat yang tidak memerlukan apa pun dari hamba-hamba-Nya,” terangnya.

Karena itu, lanjutnya, ada ruang dan arena manusia itu tidak bisa ikut campur. Apa yang dikatakan sebagai keadilan kebaikan itu bisa diwujudkan. Tidak seperti sekarang ini. “Itu saya kira perbedaan secara prinsip antara sistem Islam dengan sistem demokrasi. Kalau demokrasi kedaulatan di tangan rakyat sedangkan sistem Islam kedaulatan di tangan syariah,” tegasnya.

Terakhir, ia tidak mengatakan bahwa dalam sistem Islam itu semua akan berlangsung dengan baik tanpa ada kesalahan tanpa ada kekeliruan. Jika ada kesalahan, itu kesalahan manusia bukan sistemnya. Tapi sekarang, kesalahan bisa terjadi pada dua level atau dua sisi. Sistemnya sudah rusak, orangnya rusak pula.

“Ibarat lalu lintas, peraturannya enggak jelas, sopirnya ugal-ugalan. Tapi, dalam sistem Islam, aturannya bagus. Aturan yang bagus akan mendorong terciptanya mempersuasi orang-orang menjadi baik karena aturannya baik,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: