Ustadz Labib Sanggah Kekeliruan Kiai Ma’ruf tentang Khilafah
Mediaumat.news – Pernyataan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin yang meyakini sistem khilafah tak akan bisa diterapkan di Indonesia dengan alasan tak sesuai dengan perjanjian para bapak bangsa ketika mendirikan Indonesia, mendapatkan sanggahan dari Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Rokhmat S Labib.
“Bagi seorang Muslim apalagi seorang ulama, parameter utama untuk menentukan sesuatu itu bukan ‘bisa atau tidak bisa’ tetapi ‘apa hukumnya menurut Islam?’ Apakah itu wajib, sunah, mubah, makruh atau haram?” ujarnya kepada mediaumat.news , Ahad (22/7/2018).
Menurutnya, harusnya dipertanyakan dulu apa hukum khilafah itu menurut Islam. Dan sebenarnya, khilafah itu bukan sesuatu yang asing, seluruh ulama muktabar di dalam berbagai kitab yang ada, baik dalam kitab fikih, kitab hadits dan kitab tafsir itu jawabannya tidak ada yang berbeda bahwa khilafah ini merupakan kewajiban dari Allah SWT, hukumnya fardhu kifayah. Bahkan bukan hanya fardhu (wajib) tetapi sebagai tajul furudh (mahkota kewajiban).
“Mengapa disebut sebagai mahkota kewajiban? Karena banyak kewajiban-kewajiban lain hanya bisa tegak dengan menegakkan khilafah dan tanpa ada khilafah berbagai kewajiban tidak bisa ditegakkan,” bebernya.
Ustadz Labib, begitu sapaan akrabnya, menegaskan kewajiban ini semestinya dipahami oleh seorang Muslim apalagi ulama, bila dikerjakan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan mendapatkan dosa, murka dari Allah SWT. Inilah yang seharusnya menjadi pedoman.
“Jadi ketika Allah SWT mewajibkan, kita harus berusaha menjalankannya. Bukan malah tiba-tiba mengatakan itu tidak bisa. Harus dipahami juga Allah SWT tidak mungkin memberikan kewajiban kepada hamba-Nya suatu perkara yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Bila hukumnya wajib, berarti itu berada dalam batas kemampuan manusia,” bebernya.
Terkait kesepakatan bapak bangsa, Ustadz Labib juga menegaskan bapak bangsa adalah manusia ciptaan Allah SWT juga yang juga memiliki kewajiban menaati Allah SWT, termasuk ketika mereka itu melakukan perjanjian, perjanjian tersebut jangan sampai mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
“Berdamai dengan sesama Muslimin itu diperbolehkan kecuali perdamaian yang menghalalkan suatu yang haram atau mengharamkan suatu yang halal. Dan kaum Muslimin harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati kecuali syarat yang mengharamkan suatu yang halal atau menghalalkan suatu yang haram,” ujarnya mengutip hadits riwayat Imam Bukhari.
Bukan Kerajaan
Pernyataan Kiai Ma’ruf yang menyebut khilafah berarti berbentuk kerajaan juga disanggah.
“Sungguh sangat disayangkan, perkara khilafah yang sudah sangat jelas kok malah dipahami secara keliru. Tidak satu ulama muktabar pun yang memahami struktur pemerintahan khilafah itu berbentuk kerajaan. Rasulullah SAW telah menjelaskan khilafah yang lurus itu ya Khulafaur Rasyidah, dan tidak ada satu indikasi pun yang menunjukkan bahwa itu adalah kerajaan,” jelasnya.
Menurut Ustadz Labib, ciri khas kerajaan adalah kedaulatan di tangan raja dan bentuk suksesinya berupa pewarisan kekuasaan dari orang tua ke anak (putra mahkota). Dan itu semua tidak tampak ketika Rasulullah SAW ketika menjadi kepala negara di Madinah maupun di era Khulafaur Rasyidah.
Kiai Ma’ruf juga menentang upaya mewujudkan sistem khilafah dengan kekerasan dan teror.
“Ini adalah tuduhan ketika perjuangan menegakkan khilafah itu dilekatkan dengan terorisme. Semestinya perjuangan menegakkan khilafah itu dilekatkan sebagaimana contoh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin yang jelas-jelas mendapatkan petunjuk dan ridha Allah SWT. Kenapa dikaitkan dengan terorisme? Kenapa kok terorisme tidak pernah dikaitkan dengan kapitalisme yang jelas-jelas melakukan teror di seluruh dunia ini? Mengapa terorisme tidak dilekatkan kepada komunisme?” tanyanya.
Ustadz Labib juga menegaskan, memang dalam menegakkan khilafah itu tidak boleh dengan kekerasan dan teror karena itu bertentangan dengan syariat Islam.
Seperti diberitakan jpnn.com, Jumat (20/7), Kiai Makruf menyatakan sistem khilafah tak akan bisa diterapkan di Indonesia. Alasannya, sistem itu tak sesuai dengan perjanjian para bapak bangsa ketika mendirikan Indonesia. Ia juga menyebutkan khilafah berarti berbentuk kerajaan serta menentang upaya mewujudkan sistem khilafah dengan kekerasan dan teror.[] Joko Prasetyo