Mediaumat.id – Di tengah sorotan publik terhadap gaya hidup para pejabat yang hedonis, Dosen Online Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. mengungkapkan strategi membentuk pejabat negara berkarakter anti-hedonisme ala Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
“Dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kita bisa belajar strategi membentuk aparatur negara berkarakter sederhana dan berjiwa pengabdian tinggi. Setidaknya ada tujuh strategi,” tulis keduanya dalam materi kuliah daring bertajuk Hedonisme Gaya Hidup Pejabat Negara: Inikah Simbol Kerusakan Sistem Pengelolaan Negara Berbasis Demokrasi Kapitalistik? di Grup WhatsApp Uniol 4.0 Diponorogo, Sabtu (11/3/2023).
Prof. Suteki menyampaikan strategi pertama yaitu memimpin berlandaskan keimanan pada Sang Pencipta. Ia menilai, keimanannya kepada Allah membuatnya berhati-hati terhadap segala harta benda yang dimiliki. Pun memilih hidup sederhana, zuhud, dan wara’.
Kedua, Puspita menjelaskan, berkarakter tawadhu’. “Ini sifat menonjol dari Umar bin Abdul Aziz. Tawadhu’ merupakan perangai merendahkan kelebihan, menundukkan hati agar tidak menunjukkan lebih baik dari orang lain,” ujarnya.
Ketiga, ia menerangkan, mendidik keluarga menjadi sosok sederhana bahkan siap menderita. Usai diangkat sebagai khalifah, Umar menolak tinggal di istana dan memilih rumah sempit terbuat dari tanah liat. Pun minta istrinya, Fatimah binti Abdul Malik meninggalkan kemewahan dunia.
“Fatimah mematuhi suaminya, bahkan menyerahkan semua perhiasannya ke baitul maal dengan ikhlas,” kisahnya.
Prof. Suteki melanjutkan strategi keempat yakni memisahkan kepentingan publik dengan urusan pribadi. Hal ini tampak saat jelang malam, Umar bin Abdul Azis di ruang kerjanya, tiba-tiba putranya masuk.
“Karena putranya menemui untuk urusan keluarga, seketika beliau mematikan lampu penerang dan meminta stafnya untuk mengambil lampu pribadi di ruang belakang kantor,” imbuhnya.
Kelima, ia mengungkap strategi membersihkan harta pejabat publik, berkaca dari Umar yang mengumpulkan seluruh pejabat negara dan meminta kekayaan selama menjabat dikembalikan ke kas baitul maal.
“Meski ditentang, tanpa ragu ia menyita harta pejabat untuk setor ke kas negara,” cetusnya.
Lebih lanjut, Puspita membeberkan strategi keenam adalah mengingat negeri akhirat tempat mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan di dunia.
Ia memandang, Umar tekun beribadah dan lembut hati dalam mengingat negeri akhirat, serta tak tergoda kenikmatan dunia.
“Beliau tidak pernah kering air matanya karena bunyi syair, ‘Tidak ada kebaikan dalam hidup seseorang yang tidak bernasib baik di sisi Allah, kelak di hari penentuan’,” kutipnya.
Strategi ketujuh, ia menunjuk adanya prinsip transparansi dan akuntabilitas, yang membuat kepercayaan publik naik serta dukungan rakyat kepada pemerintah menguat.
“Ketika Umar memerintah, tak satu pun penduduk kelaparan, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, penjara tak ada penghuninya. Bahkan penerima zakat sulit ditemukan,” sebutnya.
Akhirnya keduanya menyatakan, dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz kita belajar bahwa sosok pemimpin yang berkarakter mulia seperti itu pernah dan bisa terwujud dalam penerapan sistem Islam.
“Lantas bisakah sosok pemimpin sederhana, amanah, dan berjiwa pengabdian tinggi, hadir dalam penerapan sistem demokrasi kapitalistik saat ini?” pungkas mereka.[] Ummu Zarkasya