Undang-undang Prancis yang Mengizinkan Burkini Tidak Menyembunyikan Agenda Anti-Islam
Pada tanggal 26 Mei 2022, pengadilan administrasi Prancis di kota Alpen Grenoble mengatakan adalah “sangat melanggar prinsip netralitas dalam pelayanan publik” untuk melarang pakaian yang menutup seluruh tubuh yang dikenakan oleh banyak wanita muslim (burkini) di pantai.
Langkah ini dipuji sebagai kemenangan bagi para pendukung keragaman dan inklusi.
Kutipan berikut muncul di artikel berita online NDTV:
“Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin menyambut putusan pengadilan sebagai “berita bagus” dalam sebuah posting di Twitter Rabu malam.
Putusan itu merupakan perkembangan terbaru dalam perdebatan yang telah berlangsung lama yang telah membuat para pembela nilai-nilai sekuler Prancis menentang mereka yang berpendapat bahwa larangan burkini merupakan diskriminasi.”
Perkembangan baru ini seharusnya tidak dilihat sebagai langkah kemajuan bagi wanita Muslim di Prancis. Larangan terhadap Hijab yang masih berlaku dan penuntutan baru-baru ini terhadap seorang pria Prancis yang menyerang dua wanita Muslim di depan umum menunjukkan kebencian terhadap Islam masih hidup dan berkembang.
Kemurahan kecil dari aturan berpakaian ini tidak dapat disamakan dengan sumber daya yang luas yang tersedia untuk wanita Muslim dan hak asasi mereka yang diberikan oleh Allah (Swt). Fakta bahwa begitu banyak kaum wanita menghadapi keterbatasan untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan, sumber daya kesehatan dan hak-hak ekonomi karena larangan memakai hijab tidak dapat diabaikan.
Wanita muslim yang setiap hari hidup dalam ketakutan dan menghadapi pelecehan dan diskriminasi yang mengerikan tidak pernah bisa dilihat sebagai kisah kesuksesan di Prancis. Pelabelan terhadap wanita Muslim sebagai kelompok yang “memiliki kekurangan ” dan “sebagai kelompok minoritas yang harus ditumpas” adalah perjuangan nyata sehari-hari bagi wanita Muslim dari setiap kelompok umur dan demografis dalam apa yang disebut sebagai utopia Sekuler Liberal Eropa.
Tidak ada yang bisa menandingi perlakuan mulia dan terhormat dari para wanita Muslim pada zaman Khilafah. Mereka tidak bisa dibicarakan dengan sebutan negatif apalagi diserang di depan umum. Undang-undang tentang fitnah yang melindungi keutamaan wanita adalah bagian dari kode etik publik hukum Syariah dan konsekuensi berat akan diberikan kepada siapa pun yang melanggar batas-batas ini.
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ
“ Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar.” [TQS An-Nur: 23]
Persekusi yang sedang berlangsung terhadap ekspresi Islam adalah bukti dari kesadaran mendalam dari Demokrasi Sekuler atas kekuatan Islam untuk mendominasi tatanan dunia dan melepaskan umat manusia dari cengkeraman yang melumpuhkan hukum buatan manusia yang merupakan penindasan terbesar di bumi. Kebesaran Islam untuk menghapus semua kekuatan dan otoritas palsu dan menyamakan keseimbangan ketidakadilan manusia adalah bahaya nyata yang sedang diperangi oleh para pemimpin dunia. Sudah saatnya umat Islam secara global juga melihat Islam dalam konteks dunia yang mendominasi ini sehingga mereka bekerja tanpa lelah untuk mengembalikan posisi sejati kaum wanita muslim sebagai harta sosial yang harus dihormati dan dijaga.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Imrana Mohammed
Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir
https://www.hizb-ut-tahrir.info/en/index.php/2017-01-28-14-59-33/articles/politics/23163.html