Umat Islam Dulu Maju dengan Islam, dan Akan Kembali Bangkit dan Maju dengan Islam
Di era Kesultanan Banjar masa silam, hukum Islam telah tegas diterapkan kerajaan, seperti: kurungan badan tanpa diberi makan, ketika tidak berpuasa Ramadan, dan denda saat terbukti tidak salat jumat.
Sayangnya syariat Islam tersebut sirna, seiring gaya sekuralisasi yang dibawa penjajah Belanda, yang bahkan tetap bertahan hingga sekarang.
Sejarah ini diuraikan secara ringkas, oleh budayawan Kalimantan Selatan, Ahmad Barjie, yang juga mendapat gelar Datu Cendekia Hikma Diraja, oleh Kesultanan Banjar masa kini.
Datuk Cendekia Hikma Diraja, diundang khusus panitia, untuk mengisi Mudzakarah Ulama dan Tokoh Umat bertema Islam Selamatkan Negeri, di Majelis Taklim Miftahul Jannah, Jalan Perdagangan, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, Sabtu sore (13/10/18).
Beliau menjelaskan, bahwa di waktu Syekh Arsyad Al-Banjari masih hidup, dan Sultan Adam memimpin Kerajaan Banjar, telah berdiri mahkamah syariah, yang kemudian menjatuhkan sanksi, kepada siapa saja warga Kesultanan umat Islam, yang tidak menunaikan kewajiban ajaran agamanya.
“Konon Datu Sanggul sampai kehabisan harta, karena membayar denda, sebab ketahuan tidak terlihat salat Jumat di kampungnya, padahal dengan karamahnya wali Allah ini telah salat di Masjidil Haram,” cerita Ahmad Barjie di hadapan puluhan peserta yang tetap hadir walaupun hujan lebat mengguyur kota Banjarmasin.
Hukum Islam tersebut perlahan ditinggalkan, seiring merasuknya ajaran sekuler, yang dibawa oleh penjajah Belanda.
Sayangnya menurut Barjie, usai Indonesia merdeka, hukum tersebut malah tidak lagi diperjuangkan untuk diterapkan, padahal para pejuang dulu menginginkan diterapkannya syariat Islam.
“Berbicara kuantitas, umat Islam kita sekarang adalah mayoritas, namun sayangnya, kebanyakan hanya mencari kesenangan jangka pendek, seperti hidup makmur, atau punya mobil dan bergaji tinggi, tapi tidak lagi memperjuangkan kemakmuran jangka panjang, lewat perjuangan berdirinya negara berdasar syariat,” urai Barjie.
Menurut Barjie, tulisan opininya sering dimuat berbagai media cetak, partai-partai Islam di parleman tidak bisa diharapkan untuk membangkitkan umat, karena tidak serius dalam memperjuangkan penerapan syariat Islam. Berbeda dengan Hizbut Tahrir yang konsisten dengan perjuangan penegakkan khilafah.
Di sesi mudzakarah berikutnya, Pimpinan Majelis Darul Ma’arif, Wahyudi Ibnu Yusuf menjelaskan, bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dalam keadaan sakit. Kerusakan (al fasad) di darat dan di laut yang dinyatakan dalam Al Quran lantaran maksiat, apapun bentuknya, telah nyata dilakukan rakyat negeri ini.
Ia juga mengkritisi pemahaman akan bentuk maksiat yang telah “dibonsai” sehingga maksiat hanya identik dengan perzinaan, mabuk, narkoba, judi, mencuri dan sebagainya.
Padahal uang kertas yang dicetak tanpa back up emas dan perak, riba yang dilegalkan sehingga terjadi krisis keuangan adalah bentuk kemaksiatan juga.
“Apakah Tuhan yang memerintahkan kita shalat, puasa, zakat dan berhaji adalah Tuhan yang berbeda dari Tuhan yang memerintahkan kita untuk melaksanakan syariat dan menegakkan khilafah?”, tanya Ustadz Wahyudi secara retoris?
Maka kehadiran Khilafah sangat diperlukan, sebagai solusi atas berbagai kerusakan yang menimpa negeri-negeri kaum Muslimin saat ini, termasuk Indonesia, karena akan menerapkan hukum Islam secara keseluruhan, guna mewujudkan rahmat bagi sekalian alam.
“Sejarah membuktikan, Asia, Afrika, termasuk Eropa, bangkit dengan Islam. Maka benarlah pernyataan yang menyatakan, kita maju dengan Islam, dan kita akan kembali maju dan bangkit dengan Islam. Karena Islam adalah agama yang diturunkan Zat Maha Tinggi, Maha Mulia, Maha Adil, yang ketinggianNya kemuliaanNya, keadilanNya, akan dirasakan siapapun makhlukNya yang mengemban Islam,” tegas Wahyudi, ketika ditemui usai salat Magrib berjamaah.
Di kesempatan terakhir, juga digalang dana, atas musibah kebakaran yang menimpa rumah salah satu jamaah mudzakarah. Bahkan yang bersangkutan tetap berkenan hadir di majelis, meski mengenakan baju pemberian warga, karena harta bendanya yang telah hangus dilahap sang jago merah di siang harinya.[]
Sumber: shoutululama.org