Di tengah eskalasi peristiwa di Gaza, Tepi Barat, dan pedalaman yang diduduki, Presiden Turki menyerukan pembentukan komite tripartit untuk pengelolaan kota Yerusalem (Al-Quds) yang mencakup perwakilan dari tiga agama. Erdogan berkata: “Dalam situasi seperti saat ini, saya rasa hal paling benar dan konsisten bagi Yerusalem adalah dikelola sebuah komisi yang terdiri dari perwakilan tiga agama (Islam, Kristen dan Yudaisme).” Dia meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan, Organisasi Kerjasama Islam dan semua organisasi internasional lainnya untuk bertindak secara aktif dan efektif demi orang-orang Palestina yang tertindas dan Yerusalem.
Gagasan internasionalisasi Yerusalem adalah gagasan kolonial Amerika kuno, dan merupakan inti dari proyek dua negara dalam versi aslinya, yang secara serius dan mengkristal diusulkan di era akhir Presiden AS, Dwight David Eisenhower, pada tahun 1959, yang pada saat itu menetapkan sebuah entitas untuk orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza, dan negara Yahudi atas apa yang tersisa dari Palestina, serta menginternasionalkan Yerusalem dan solusi masalah pengungsi dengan mengembalikan sebagian kecil dari mereka, memberikan kompensasi kepada mayoritas, juga menempatkan mereka di luar Palestina, di mana selama beberapa dekade terakhir, Amerika telah melakukan banyak upaya untuk melaksanakan proyeknya yang merusak dan untuk melikuidasi masalah Palestina yang tidak dapat diatasi olehnya dan proyek-proyeknya.
Pada saat rakyat Palestina menginjak-injak gagasan dan proyek kolonialisme di pedalaman pendudukan, Tepi Barat dan Gaza, tanpa membedakan antara Hebron, Haifa, Ramallah, Akka, Nablus, Jaffa, Gaza dan Ramla, sementara Yerusalem yang di dalamnya ada Masjidilaqsa yang diberkati dan kiblat pertama kaum Muslim akan menjadi penggerak mereka; dan pada saat ketika mereka ingin mengusir entitas Yahudi dari seluruh Palestina, justru para penguasa pengkhianat menawarkan kepada kita proyek dan gagasan yang semakin tidak relevan, di mana pengusungnya gagal untuk menerapkannya, dan sekarang mereka berusaha menghidupkannya kembali.
Palestina dan Yerusalem adalah tanah Islam di mana tidak ada tempat bagi penjajah, sedangkan keadaan mendidih dan reaksi umat Islam atas apa yang terjadi di tanah yang diberkati adalah tanda vitalitas umat dan berpegang teguhnya merela pada tanah dan masalahnya. Namun umat berada di sebuah lembah dan para penguasa berada di lembah yang lain. Sementara umat tengah menanti tindakan ahlul quwah (pemilik kekuatan) dan pembukaan perbatasan untuk membebaskan Palestina, justru para penguasa mereka sibuk dengan mencari sampah kolonial dan berusaha mendaur ulang sebagian dari sampah-sampah lamanya (pal-tahrir.info, 18/05/2021).