Oleh : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)
Sebagaimana diberitakan di laman suaranasional.com pada 13/11/2019 bahwa Sukmawati Soekarnoputri mempertanyakan peran Nabi Muhammad SAW dalam merebut kemerdekaan Indonesia dibanding Soekarno. “Sekarang saya mau tanya, yang berjuang di abad 20 itu Nabi yang mulia Muhammad atau Insinyur Soekarno? Untuk kemerdekaan Indonesia?” tanya Sukmawati dalam diskusi bertajuk ‘Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme’, Senin (11/11/2019) (https://suaranasional.com/2019/11/13/sukmawati-sebut-soekarno-lebih-berjasa-dari-nabi-muhammad-saw/).
Tentu saja pernyataan “ngawur” tersebut sangat disayangkan oleh semua elemen bangsa ini, terutama umat Islam. Pasalnya, di saat umat Islam di negeri ini sedang semarak memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, justru ternodai oleh sikap Sukmawati yang diduga menistakan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, umat Islam wajib mengecam dan mementang keras sikap tersebut. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian semua pihak, antara lain.
Pertama, Pandangan Islam terhadap penghina kemuliaan Nabi Muhammad. Semua pihak harus memahami bahwa mencintai Nabi Muhammad saw, merupakan kewajiban dan kebaikan yang amat luhur. Sementara itu menista (istihza’) terhadap kemuliaan beliau adalah dosa besar. Sebagaimana firman Allah swt: “Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan”. (TQS. al-Ahzab [33]: 57). Al-Qadhi Iyadh menjelaskan bentuk-bentuk hujatan hujatan kepada Nabi Muhammad saw. Orang yang menghujat Nabi Muhammad saw adalah orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri beliau ada kekurangan, mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya. Juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia, menentang atau menyejajarkan beliau dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengerdilkan, menjelek-jelekkan, dan mencari-cari kesalahannya. Orang seperti ini termasuk orang yang telah menghujat Nabi Muhammad saw. (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hal. 428). Walhasil, bagi orang Islam, hukum menghina Nabi Muhammad saw jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir. Hukumannya adalah hukuman mati. Al-Qadhi Iyadh menuturkan, ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi Muhammad saw adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rawaih, dan Imam as-Syafi’i. (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hal. 428).
Kedua, Sikap yang harus ditunjukkan oleh umat Islam. Pada masa Khilafah Utsmaniyah, Prancis pernah merancang untuk mengadakan pertunjukan drama yang diambil dari hasil karya Voltaire. Isinya bertemakan “Muhammad atau Kefanatikan”. Di samping mencaci Rasulullah SAW, drama tersebut menghina Sahabat Zaid dan Zainab. Ketika Khalifah Abdul hamid mengetahui berita tersebut, melalui duta besarnya di Perancis, beliau segera memberikan ancaman kepada pemerintah Prancis supaya menghentikan pementasan drama tersebut. Beliau mengingatkan bahwa ada tindakan politik yang akan dihadapi Prancis jika tetap meneruskan dan mengizinkan pementasan tersebut. Prancis akhirnya membatalkan.
Tidak berhenti sampai di situ, perkumpulan teater tersebut berangkat ke Inggris. Mereka merencanakan untuk menyelenggarakan pementasan serupa. Sekali lagi, Khalifah Abdul Hamid memberikan ancaman kepada Inggris. Inggris menolak ancaman tersebut. Alasannya, tiket sudah terjual habis dan pembatalan drama tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan (freedom) rakyatnya. Perwakilan Khilafah Utsmaniyah di sana mengatakan kepada pemerintah Inggris bahwa Prancis telah menggagalkan acara tersebut sekalipun sama-sama mengusung kebebasan. Pihak Inggris justru menegaskan bahwa kebebasan yang dinikmati rakyatnya jauh lebih baik daripada apa yang ada di Prancis. Setelah mendengar sikap Inggris demikian, Sang Khalifah menyampaikan, “Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah Nabi Muhammad SAW, junjungan kita. Saya akan mengobarkan jihad akbar!”. Melihat keseriusan Khalifah dalam menjaga kehormatan Rasulullah SAW tersebut. Pemerintah Inggris segera melupakan sesumbarnya tentang kebebasan, dan pementasan drama itu pun dibatalkan. (Lihat: Majalah al-Wa’ie, no. 31, 2003). Begitulah seharusnya sikap yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin dan para pemimpinnya dalam membela kemuliaan dan kehormatan junjungan Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, Solusi tuntas dalam menghentikan pelecehan atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW dari para pendengki Islam. Penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW yang terjadi berulang-ulang hanyalah menunjukkan kebencian mereka kepada Islam. Itu lahiriahnya. Apa yang ada di dalam hati mereka sungguh lebih besar daripada itu. Allah SWT berfirman, “Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dalam hati mereka lebih besar lagi” (TQS. Ali Imran [3]: 118). Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan bahwa kebencian telah tampak dari wajah, sikap mereka serta ucapan mereka, namun apa yang mereka tunjukkan tidak mencakup semua kebencian yang ada di dalam dada mereka. Karenanya, tidak mengherankan bila kebencian mereka berulang-ulang dan tidak akan berhenti hingga ada yang menghentikannya. Realitas menunjukkan penguasa yang ada tidak mau menghentikan. Aksi, protes, dan kutukan pada pelakunya hanya berlalu begitu saja. Hanya khilafah yang dapat menghentikan para penghina Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an, dan Islam secara keseluruhan. Wallahu a’lam.[]