Ulama yang Bertakwa: Salah Satu Pilar Utama Kebaikan Rakyat dan Penguasa

Ulama adalah pewaris para nabi, dan mereka adalah salah satu pilar utama penentu kebaikan rakyat dan penguasa, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW:

«صِنْفَانِ مِنَ النَّاسِ إِذَا صَلَحَا صَلَحَ النَّاسُ وَإِذَا فَسَدَا فَسَدَ النَّاسُ؛ الْعُلَمَاءُ وَالأُمَرَاءُ»

Ada dua golongan manusia, apabila keduanya baik, maka baiklah semua manusia. Sebaliknya, apabila kedua golongan itu rusak, maka rusaklah semua manusia, yaitu ulama dan umara’ (pemimpin).” (HR. Abu Nu’aim dari Ibn Abbas, dalam kitab Hilyat al-Awliyā‘ wa Tabaqāt al-Ashfiyā, Jilid: 4/100).

Para penguasa dan pemimpin itu menjadi rusak akibat dari rusaknya para ulamanya, sebab para ulama berkewajiban untuk mengoreksi para penguasa, serta mengadvokasi umat mengenai pentingnya mengoreksi para penguasa agar mereka bertanggung jawab serta konsisten terhadap kebenaran.

Oleh karena itu, penting bagi para ulama, sebelum orang lain, untuk mengambil posisi sebagai para pengemban dakwah yang membawa risalah dari Tuhan semesta alam, karena itulah yang seharusnya mereka lakukan, mengingat mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah SWT. Inilah warisan dan beban mereka; Ilmu, amalan, dan menyeru manusia, karena merekalah yang pertama kali melihat fitnah yang bertentangan dengan apa yang mereka ketahui dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, sementara manusia melihatnya setelah itu terjadi dan terjerumus ke dalamnya. Jadi, peran mereka para ulama adalah menyadarkan dan membimbing masyarakat, memperingatkan dan melindungi mereka agar tidak terjerumus ke dalam berbagai fitnah, bukan malah mereka yang membuat fitnah dan menjerumuskan masyarakat ke dalamnya!

Para ulama tidak boleh berdiam diri atau mengabaikan peran yang diberikan kepada dirinya, apalagi Allah SWT telah mengambil perjanjian dari mereka mengenai hal itu. Allah SWT berfirman:

﴿وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيثاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَراءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ﴾

“(Ingatlah) ketika Allah membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah diberi Alkitab (dengan berfirman), ‘Hendaklah kamu benar-benar menerangkan (isi Alkitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.’ Lalu, mereka melemparkannya (janji itu) ke belakang punggung mereka (mengabaikannya) dan menukarnya dengan harga yang murah. Maka, itulah seburuk-buruk jual beli yang mereka lakukan.” (TQS. Ali Imran [3] : 187).

Jadi mereka para ulama bertugas (berkewajiban) untuk menyampaikan risalah dan mereka akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Yang Maha Esa, begitulah yang dipahami oleh para Sahabat dan Tabi’in.

Yang wajib dilakukan oleh para ulama, sesuai dengan warisan kenabian, adalah bahwa pandangan mereka terhadap suatu masalah adalah pandangan yang syar’iy berdasarkan Islam, akidahnya dan hukum-hukumnya, juga pandangan dan tolok ukurnya adalah halal dan haram saja, pemikirannya tidak boleh tercampur dengan pikiran-pikiran kufur apa pun. Kemudian mereka berjuang untuk mewujudkan gagasan-gagasan Islam di tengah-tengah umat, serta menjelaskan kepada umat tentang wajibnya mengubah realitas di mana mereka hidup, menjelaskan wajibnya berhukum dengan Islam secara utuh dan menyeluruh, menjelaskan seluk-beluk pemerintahan Islam dan cara-caranya, serta mengenalkannya kepada masyarakat, lalu mentransformasikan gagasan-gagasan itu hingga menjadi konsep-konsep yang benar-benar dapat disentuh dan dirasakan oleh masyarakat, sehingga mereka percaya akan kemampuan Islam untuk mengatasi semua permasalahan mereka, dan menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem yang sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang harus dilaksanakan secara utuh tanpa terpecah-pecah atau bertahap, agar tidak menghasilkan model penerapan Islam yang terdistorsi, yang membuat masyarakat justru lari dari Islam dan hukum-hukumnya. Islam juga memiliki metode yang digunakannya untuk memerintah dan metode yang digunakannya untuk mencapai kekuasaan tanpa memerlukan sistem lain, atau beralih dan tunduk pada kenyataan, mekanisme, adat istiadat, dan hukun-hukumnya. (alraiah.net, 10/7/2024).

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: