Dari Ismail bin Abi Uwais, ia berkata: Telah bercerita kepadaku Malik, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ssallam bersabda:
((إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا))
“Sesungguhnya Allah subhānahu wa ta’āla tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.” [HR. Ibnu Majah].
Hadits yang mulia ini memberi tahu kita tentang sunnatullah (ketentuan Allah) terkait ciptaan-Nya, bahwa Allah subhānahu wa ta’āla akan memberikan ilmu kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, dan dengan ilmu itulah Allah subhānahu wa ta’āla menjadikan di antara kita para ulama. Allah subhānahu wa ta’āla telah menjadikan seseorang mencintai ilmu dan mencarinya.
Di tengah-tengah kita saat ini, sering melihat orang-orang yang menyebut diri mereka ulama, namun mereka tidak tahu ilmu apa yang diperlukan, bahkan ada beberapa dari mereka yang mencegah (menahan) ilmu, bukan karena bodoh dan ketidaktahuannya, tetapi karena takut ditimpa bahaya dengan mengatakannya, sehingga ilmu itu disimpan untuk dirinya sendiri! Dia mencegah (menahan) ilmu karena takut jatuh ke dalam kemarahan dan celaan manusia, atau karena takut dipenjara, disiksa dan dimarginalkan dalam kehidupan. Akibatnya, kita sering melihat yang mulia dihinakan, dan yang hina dimuliakan, serta mereka yang sadar dan berakal lupa akan kehormatan.
Orang yang mencegah (menahan) ilmu dan menyimpannya untuk dirinya sendiri, sungguh inilah akan membawa keburukan pada dirinya sendiri, dan menyesatkan orang-orang yang tengah mencari kebenaran. Sebab bagaimana mereka akan mendapatkan ilmu, jika mereka dihalangi darinya? Dan juga dengan apa ia akan menjawab, ketika kelak ia berdiri di hadapan pengadilan Allah?
Hal lain yang ditunjukkan oleh hadits ini adalah, bahwa ketika masyarakat kosong—dan tidak akan kosong yang sebenarnya—dari ulama yang mengerti agama, maka yang terlihat jelas adalah mereka yang tidak mengerti apa pun tentang agama, mereka sama sekali tidak berkata dan berbicara dengan hukum-hukum Allah, bahkan sangat jauh dari Islam, sebab apa yang mereka katakan dan bicarakan hanya untuk memuaskan dan menyenangkan para penguasa saja. Akibatnya, masyarakat kehilangan pandangan terhadap agamanya karena kehadiran orang-orang seperti mereka ini di tengah-tengah mereka, serta keengganan mereka untuk berbicara kebenaran Islam dan hukum-hukumnya.
Tetapi Anda tidak akan pernah menemukan sunnatullah (ketentuan Allah) itu berubah dan berganti, mungkin terlihat bahwa di tengah-tengah umat sedang tidak ada ilmu dan para ulama, tetapi siapa saja yang berpikiran seperti ini, maka ia pasti kecewa. Sebab ilmu itu tidak diambil dan dicabut, begitu juga para ulama yang mengerti agama Allah, mareka ini senantiasa ada dalam umat. Bahkan jumlah mereka ini banyak, tetapi akses kepada mereka mungkin begitu sulit, akibat dari situasi buruk yang menyelimuti kehidupan kita.
Kami memohon kepada Allah subhānahu wa ta’āla untuk mengembalikan ilmu dan para ulama yang mukhlis dan shaleh, agar mereka menjadi mercusuar bagi umat manusia, memberi kemudahan dan kelapangan umat Islam, serta menghilangkan kabut yang menutupi mata mereka, sehingga dengan demikian mereka akan kembali melihat kebenaran dengan jelas, serta mengikuti perkataan yang terbaik dan terbenar. [Dr Maher Shaleh]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 10/09/2019.