Ulama Aswaja Sidoarjo: Larangan Shalat Bagi Perempuan Haid Itu Dalilnya Sudah Jelas

Mediaumat.id – Pernyataan dokter spesialis kandungan dr. Surya Bawono, Sp.OG. yang menyebut Allah tidak melarang perempuan shalat saat haid, dinilai Ulama Aswaja Sidoarjo Ustaz Abdul Hamid bukan wilayah ijtihadiyah karena dalilnya sudah jelas terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.

“Syariat Islam terkait dengan larangan perempuan untuk melaksanakan shalat saat haid itu dalilnya (dasarnya) adalah Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Muhammad SAW,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (1/7/2022).

Menurutnya, terkait dengan adanya hukum larangan secara syariat itu ada dengan dalil dan dalil itu melahirkan hukum. “Dalam Islam itu ada sumber-sumber hukum yang jelas yang disebut dengan masdarul ahkam, sumber-sumber hukum yang dijadikan sebagai panduan dalam Islam. Itu ulama sepakat ada empat. Yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua hadits Rasulullah SAW, ketiga yaitu ijmak shahabat ada yang keempat adalah qiyas syar’i,” ujarnya.

Menurutnya, selama sudah ada keterangan atau sudah ada penegasan dalil-dalil secara kuat yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW, maka ini dijadikan sebagai patokan utama.

“Jadi bukan kemudian dicari-cari alasan, kenapa perempuan itu enggak boleh shalat pada saat haid? Kenapa kita disuruh shalat wajib tepat waktu? Kenapa kita diperintahkan melaksanakan ibadah haji? Kenapa puasa Ramadhan?” katanya.

Hal-hal yang terkait dengan hukum syara’ itu, menurutnya, yang pertama yang dijadikan sebagai patokan adalah hukumnya terlebih dahulu. Apakah itu wajib, kemudian sunah, mubah, makruh dan haram.

“Ketika ada ketentuan-ketentuan yang demikian itu, yang diambil dari nash-nash yang jelas, yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits-hadits, maka ini dijadikan sebagai dasar utama. Jadi, bukan wilayah ijtihadiyah,” tegasnya.

“Ketika sudah ditemukan di Al-Qur’an maupun di hadits-hadits Rasulullah SAW yang terkait dengan hukum yang berkaitan dengan larangan itu maka kewajiban seorang Muslim itu adalah sami’na wa atha’na,” imbuhnya.

Ustaz Abdul Hamid mengutip Al-Qur’an surah al-Ahzab, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzab [33]: 36).

Kemudian lanjutnya, di dalam surah an-Nisa, Allah juga menegaskan, yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS an-Nisa’ [4]: 65).

Nah, ayat ini (An-Nisa’ ayat 65), menurutnya, yang melatarbelakangi sepanjang sejarah kaum Muslim, tidak ada seorang ulama pun atau mujtahid pun yang memberikan kebolehan atau mengubah tatanan hukum terkait dengan haramnya perempuan pada saat datang bulan itu melakukan ibadah shalat.

“Jadi, ini sebetulnya bukan wilayah ijtihad. Kalau wilayah ijtihad itu ada mungkin terkait dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (bermakna ganda), para ulama kemudian berijtihad tentang ayat-ayat yang mutasyabihat ini,” tegasnya.

Tetapi ketika berbicara masalah larangan tentang haramnya perempuan untuk melaksanakan shalat, katanya, itu diambil dari Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW yang maknanya sangat jelas.

Kemudian ia pun membacakan firman Allah SWT yang artinya, “Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri” (QS al-Baqarah [2]: 222).

Ia pun mengutip hadits dari Abu Sai’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak pula puasa? Itulah kekurangan agama si wanita” (Muttafaqun ‘alaih, HR Bukhari no. 1951 dan Muslim no. 79).

Juga membacakan hadits dari Mu’adzah. Ia (Mu’adzah) berkata bahwa ada seorang wanita yang berkata kepada ‘Aisyah, “Apakah kami perlu mengqadha’ shalat kami ketika suci?”. Aisyah menjawab, “Apakah engkau seorang Haruri? Dahulu kami mengalami haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengqadha’nya.” Atau ‘Aisyah berkata, “Kami pun tidak mengqadha’nya” (HR Bukhari no. 321).

Waspada

Ustaz Abdul Hamid mengingatkan perlunya mencermati ulama akhir zaman terkait banyaknya pernyataan ngawur untuk mengacaukan pemahaman umat.

“Sebetulnya sejak dulu itu sudah ada,” ungkapnya sembari menyebut beberapa poin. Pertama, ulama-ulama yang dikatakan raasikh, di dalam surah Ali Imran awal-awal itu, ulama-ulama yang mendalam ilmunya itu akan selalu lurus dengan dalil yang berdasarkan pada basis ilmu keagamaannya seperti ilmu bahasa Arabnya, ilmu tentang kaidah-kaidah syar’i-nya, kemudian terkait pendapat para imam dan para mujtahid bagaimana mereka mengistimbat hukum. Bagaimana mereka memahami ayat? Bagaimana memahami hadits-hadits Rasulullah SAW? Mereka lurus dengan kedalaman ilmunya.

Kedua, ulama yang disebut fiul jihim bahisun yang dihatinya ada kecondongan untuk membelokkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an atau pentakwilan hadits-hadits dari Rasulullah SAW, yang dari penafsiran atau pentakwilan hadits itu adalah dalam rangka kepentingan-kepentingannya. “Bukan untuk meluruskan pemahaman supaya sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah, tapi untuk wilayah kepentingannya,” ungkapnya.

Ia menduga, ada pesanan dari pihak lain. “Artinya, buatlah hukum berdasarkan seperti ini, sehingga nanti akan mendapatkan apresiasi berupa maal (harta), ketenaran, posisi, dan lain-lain,” ujarnya.

Atau memang, kata Ustaz Abdul Hamid, itu sengaja dibuat sebagai ujung tombak untuk menyesatkan umat, sehingga umat ini dengan berbagai pemahaman yang “simpang siur” dengan dalil-dalil yang ngawur dalam penafsirannya, ngawur dalam mengambil ibrahnya, sehingga umat ini betul-betul menjadi bingung. “Nah ketika umat itu bingung, itu menjadi target bagi mereka itu untuk merusak citra Islam yang saat ini dikenal dengan islamofobia,” jelasnya.

Ia menilai ini sebetulnya merupakan strategi-strategi yang diciptakan dan dibuat dari berbagai macam cara mulai dari membeli orang-orangnya untuk membuat penafsiran pengopinian di masyarakat supaya nanti kabur dalam memahami Al-Qur’an maupun hadits.

“Atau memang sengaja mereka dibuat agar supaya mereka mengacaubalaukan pemahaman umat itu sehingga antar satu umat dengan yang lain itu bisa kontraproduktif sekalipun di dalam pemahaman para ulama itu sudah jelas bahwa ini wilayah-wilayah yang sudah clear sebetulnya,” ujarnya.

“Tetapi, karena ada upaya untuk mengacaukan situasi dan kondisi umat ini, sehingga mereka berupaya untuk selalu memberikan atau membuat pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif dengan harapan ada pro ada kontra, ada orang-orang yang mendukung, ada orang yang kontra dan segala macam di tengah-tengah umat,” tambahnya.

Dari situ, ujarnya, ada keadaan kondisi umat yang selama ini sudah tercerai berai itu semakin semrawut. “Kalau sudah semakin semrawut, ini adalah bagian dari upaya-upaya strategis dari mereka untuk melemahkan umat,” katanya.

“Jadi, kalau umat sudah digoyang dengan berbagai pernyataan kontraproduktif atau mungkin berbagai macam argumentasi-argumentasi yang selalu dibenturkan satu dengan yang lain dan umat ini ikut, maka ini merupakan suatu peluang bagi mereka untuk bisa semakin melemahkan umat ini,” bebernya.

Ia menilai, memang ada upaya-upaya yang serius untuk menjadikan Islamofobia ini semakin meluas, semakin teropini masif di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak hanya persoalan-persoalan yang terkait furu’iyah yang dibenturkan, tetapi persoalan-persoalan yang ushul (pokok) pun juga berusaha dikontraproduktifkan.

Ia mengatakan, kalau umat ini diam terkait persoalan-persoalan yang sifatnya ushul, maka program selanjutnya adakah menjatuhkan umat. “Program mereka untuk melemahkan umat, program mereka untuk menceraiberaikan umat, dan program mereka untuk menguasai umat ini agar mereka bisa dikendalikan sekehendak mereka itu bisa tercapai,” ungkapnya.

Sebaliknya, katanya, kalau umat ini dalam kondisi tidak carut-marut, tidak bercerai-berai kemudian masih berada pada jalur akidah yang lurus yakni jalur pemahaman syariah yang lurus, kemudian dengan mengedepankan ukhuwah yang tinggi, maka tidak akan pernah berhasil program yang dijalankan itu. “Karena akan selalu dilawan oleh umat. Akan selalu diantisipasi oleh umat itu sendiri, berbagai pemahaman nyeleneh yang ada pada mereka itu,” tuturnya.

“Tapi sebaliknya, kalau kondisi umat ini sudah enggak karu-karuan ini ya, empuk aja mereka. Mereka melihat kita ini dalam kondisi yang tidak berdaya untuk melawan mereka,” imbuhnya

Selain itu, ia menduga ini adalah test the water untuk menunjukkan sejauh mana umat Islam dites, ketika diberikan pemahaman-pemahaman yang nyeleneh, pemahaman-pemahaman yang kontraproduktif dengan para ulama-ulama salaf, seorang ulama yang lurus.

“Bagaimana reaksinya umat? Ketika memberikan respon yang masif terhadap pemahaman pemahaman itu untuk diluruskan agar sesuai dengan syariat dan dominan maka mereka akan mundur,” tukasnya.

“Artinya mundur itu jangan. Belum waktunya umat ini untuk dilakukan program-program berikutnya. Akan tetapi kalau umat ini kemudian tidak ada tanggapan, bahkan cenderung sesuai dengan arahan framing yang mereka buat, yang mereka ciptakan, sehingga mengikuti pemahaman yang mereka sodorkan atau lontarkan, dengan pola pemahaman yang nyeleneh itu, ini mereka sudah membaca, tandanya mereka untuk melakukan program lanjutan untuk semakin menghancurkan umat ini agar tidak lagi mereka bisa memegang ajaran Allah yang bersumber dari Alquran dan hadits-hadits rasul Muhammad SAW,” ujarnya.

Jadi, sekali lagi ia mengingatkan umat harus diwaspadai terhadap yang demikian ini. “Jangan sampai kemudian program-program nyeleneh yang selama ini dilontarkan oleh orang-orang yang dengan kriteria tadi, mereka punya kepentingan, mereka punya maksud untuk mengacaubalaukan umat, atau mereka punya kepentingan untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas dunia, ini harus segera diberikan komentar-komentar atau diberikan pendapat-pendapat yang masif untuk bisa meluruskan pendapat yang demikian itu. Sehingga umat ini masih tetap bisa di jalan garis lurus yaitu jalan Islam yang berdasarkan pada syariah yang diambil dari kekuatan hukum bersumber dari Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: