Ulama Aswaja: Kebencian Barat Terhadap Islam Itu Konflik Permanen

Mediaumat.id – Ulama Aswaja Jawa Barat Ustaz Dr. Hakim Abdurrahman menilai kebencian orang kafir kepada Islam itu sebagai bentuk konflik permanen (permanent conflict).

“Kebencian Barat, kebencian orang kafir kepada Islam itu suatu bentuk bisa dikatakan permanent conflict,” tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum (ILF) Jawa Barat Edisi 8, Penghinaan terhadap Nabi SAW dan Al-Qur’an: Perspektif Hukum dan Ulama Aswaja di kanal YouTube Rayah TV, Sabtu (11/6/2022).

Menurutnya, kebencian ini bisa datang dari mana saja baik Muslim atau kafir. “Ini ditegaskan oleh Allah SWT, tampak kebencian mereka dari mulut-mulut mereka dan apa yang tersembunyi di dalam dada mereka, pikiran mereka itu lebih ngeri lagi,” tegasnya.

Hakim menilai, berulangnya kejahatan ini bukan ketidaksengajaan. “Ini mesti diberikan pukulan atau sesuatu yang kemudian menghentikan kebiasaan buruk ini. Dan ternyata hukum positif di berbagai negara termasuk di Eropa yang mengagungkan kebebasan HAM, termasuk hukum internasional tidak mampu memberikan efek jera,” ungkapnya.

“Jadi karakteristik mereka benci, karakteristik hukum positif yang ada sekarang itu sudah bisa dipastikan penghinaan ini akan senantiasa berulang,” simpulnya.

Direktur Lukman Al-Hakim Institute itu melihat bahwa perasaan beriman, perasaan berislam kaum Muslim baik di Barat maupun Timur tampak menguat terutama suara penegakan syariah dan khilafah. “Ini menjadi indikator bagi seorang politisi dan sebuah negara apakah dia masih loyal dengan hukum positif/status quo yang ada atau tidak,” bebernya.

Ia berikan contoh, beberapa bulan yang lalu salah satu calon presiden Prancis berusaha mengampanyekan pelarangan penggunaan hijab. “Jadi semakin sekuler calon presiden itu semakin bagus. Ini kan sebuah respons keberagamaan kaum Muslim di Eropa termasuk di India. Sehingga kemudian kita akan bisa melihat akan banyak peluang terutama para politisi yang menggunakan kondisi ini untuk mengukur seberapa diterimanya mereka di negaranya,” bebernya.

Hakim mengkhawatirkan, satu sisi karakteristik Barat yang benci dan jahat pada Islam, di sisi lain hukum positif mandul memberikan efek jera ini bisa mewujudkan karakteristik kaum Muslim yang jauh dari performa khairu ummah (umat terbaik).

“Yaitu berdiam diri dengan apa yang ada. Toh nanti juga akan berlalu. Toh nanti akan dilupakan. Ini yang berbahaya,” khawatirnya sebagaimana digambarkan oleh syair,

“Saudaraku, tahukah kamu ada seorang manusia tapi dia hewan. Penampakannya itu seperti manusia, mendengar, melihat tapi dia hewan. Mereka begitu cerdas, reflek, responsif ketika musibah itu ditimpakan kepada hartanya. Tapi ketika ditimpakan fitnah pada agamanya dalam bentuk pelecehan Islam, Rasulullah SAW, ahlulbaitnya, itu tidak merasa apa-apa.”

Hakim juga menggambarkan beratnya penghinaan pada Rasulullah SAW dengan mengutip pesan gurunya. “Guru saya dulu pernah bilang seperti ini ‘Hancurnya alam semesta ini ringan daripada penistaan yang ditujukan kepada Rasulullah SAW dan ahlul bait’,” lugasnya.

Ia tegaskan kembali bahwa di satu sisi hukum positif tidak memberikan efek jera sehingga penghinaan pada Rasulullah berulang, di sisi lain ini menyebabkan mandulnya kaum Muslim dari identitas mereka sebagai umat terbaik. “Karena itu harus dilakukan usaha-usaha penyadaran dengan dakwah,” ungkapnya memberikan solusi.

“Maka harus dilakukan usaha-usaha yang memastikan persoalan ini tuntas yaitu dengan penerapan hukum Islam secara kaffah,” imbuhnya.

Hukuman Mati

Terkait hukuman bagi penghina Nabi, ulama Aswaja ini menegaskan bahwa para ulama sepakat hukuman bagi penghina Rasulullah SAW baik kafir maupun Muslim itu cuma satu yaitu hukuman mati.

“Hukuman mati itu adalah hak Allah, hak Rasulullah SAW. Karena itu ketika seorang Muslim menghina Rasulullah SAW sekalipun dia bertobat dia tetap harus dihukum mati,” tegasnya.

Menurutnya permasalahannya adalah bagaimana menghentikan penghinaan pada Rasulullah SAW yang distimulus oleh kebencian mereka apalagi difasilitasi oleh hegemoni mereka.

“Nah ini tidak mungkin tidak, satu harus menghukumi, kedua menghentikan. Ini tidak bisa tidak, kita harus punya otoritas hukum yang dalam kitab-kitab fikih disebut khilafah Islam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: