UIY: Yang Ikut Petunjuk Allah Tidak akan Tersesat

 UIY: Yang Ikut Petunjuk Allah Tidak akan Tersesat

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menuturkan siapa saja yang mengikuti petunjuk Allah tidak akan tersesat.

“Fenomena yang ini hari kita hadapi itu membuktikan apa yang dikatakan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, ‘Maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka’,” tuturnya dalam Catatan Peradaban, Ambigu Demokrasi: L68T Dipromosikan, Khilafah Dipersekusi? melalui kanal Youtube Peradaban Islam, Kamis (19/5/2022).

Ia menjelaskan makna sesat, sederhananya adalah ketika tidak tahu jalan yang benar dan jalan yang salah, alias tidak bisa membedakan. “Kalau dalam bahasa Al-Qur’annya itu kita tidak punya furqan (pembeda). Karena tidak tahu mana yang benar, mana yang salah, kita jadi bingung,” ujarnya.

UIY berikan contoh aktual soal L68T. “Kita sekarang berada pada situasi kita ini hampir-hampir seperti kehilangan kemampuan menilai mana yang benar mana yang salah. Sampai soal L68T pun kita tidak mampu karena kita meninggalkan petunjuk Allah,” bebernya.

“Jikalau kita kembali kepada Al-Qur’an akan dengan mudah ketemu, sebagaimana disebut di dalam surah al-A’raf ayat 80. Ketemu istilah fâhisyah (kemungkaran yang sangat menjijikkan),” terangnya.

Sebegitu menjijikannya kemungkaran itu, lanjut UIY, sampai-sampai dikatakan oleh Nabi Luth: Mâ sabaqakum minhâ min ahadin min al-‘âlamîn (yang belum pernah ada seorangpun di muka bumi melakukan apa yang kau lakukan itu).

“Apa bentuk fâhisyah-nya? Engkau mendatangi laki-laki dengan syahwat dengan mengabaikan kaum perempuan. Itulah yang sekarang disebut gay, homo seksualitas,” ungkapnya.

Menurut UIY, begitu pegang Al-Qur’an ketemu istilah untuk L68T yaitu fâhisyah, namun begitu meninggalkan Al-Qur’an akan kehilangan arah, tersesat, dan tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah.

“Bahkan sekadar menyebut L68T itu apa saja tidak bisa. Paling jauh yang saya ikuti, L68T adalah penyakit, penyimpangan, sesuatu yang perlu diterapi, tidak pernah disebut sebagai fâhisyah apalagi jarimah (kriminal),” ujarnya.

Ia mengungkap di dalam Al-Qur’an ditemukan makna L68T dalam dua istilah yaitu fâhisyah dan jarimah. “Sebagai fâhisyah, dia itu harus ditolak, sebagai jarimah dia harus dihukum. Makanya jika kita membaca keterangan Nabi, siapa yang kamu jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth maka bunuhlah yang menghomoi dan yang dihomoi,” jelasnya.

“Keras sekali itu. Kenapa begitu kerasnya? Sekarang kita menjadi tahu bahwa dengan hukuman itu rantai penularan itu akan menjadi terputus. Mengapa? Karena homo seksualitas itu memang penularan,” imbuhnya.

Gerakan Politik

UYI menilai L68T yang terjadi hari ini, sebuah gerakan politik yang memiliki tiga tujuan. Diterima secara sosial, diterima secara politik, diterima secara hukum. Bukan sekadar fenomena personal atau fenomena pasangan seperti yang diangkat pada podcast-nya Deddy Cobuzier.

“Jadi social acceptance, politic acceptance, legal acceptance itu tujuan mereka. Tujuan puncak mereka itu legal acceptance (penerimaan secara hukum),” terangnya dengan memberikan contoh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 2015 mengesahkan pernikahan sejenis sebagai puncak keberhasilan perjuangan mereka.

UIY juga menegaskan, pernikahan sejenis di Amerika bisa diterima secara politik karena jumlah mereka banyak sehingga memengaruhi kontestasi politik. “Setiap kali pemilu komunitas L68T di Amerika tidak bisa lagi diabaikan, suaranya sangat signifikan. Karena itulah maka Partai Demokrat mengendorse komunitas ini,” paparnya.

“Inilah yang disebut sebagai political acceptance. Nah, bagaimana supaya mereka bisa sampai pada level diterima secara politik? Jika dan hanya jika jumlahnya banyak. Karena itulah maka mereka harus memperbanyak jumlah itu,” terangnya.

Mereka tahu persis, lanjut UIY, tidak mungkin memperbanyak jumlah dengan beranak melalui perkawinan, sehingga mereka berupaya memperbanyak melalui penularan. “Karena itulah, ini sebenarnya sebuah gerakan yang sangat mengerikan. Mengapa? Karena mereka sangat agresif melakukan penularan, mencari mangsa-mangsa baru. Saya sering mengatakan di berbagai kesempatan kita tidak boleh merasa aman,” tegasnya.

UIY juga mengatakan, cara penularannya dengan lumrahisasi L68T, bahwa ini perkara yang lumrah. “Podcast Deddy kemarin itu harus dibaca dalam kerangka ini. Sedang menuju step social acceptance. Karena itu harus dikutuk. Syukur Deddy segera menyadari kesalahannya dan takedown rekamannya,” terangnya.

“Tetapi saya kira bukan hanya Deddy, karena saluran mereka banyak. Saluran mereka itu ada lembaga-lembaga formal atau informal, ada media formal, ada media nonformal, ada media privat, ada media sosial. Saya kira harus kita cermati,” imbuhnya.

Demokrasi

Menurut UIY, mereka tahu persis bahwa mereka berada pada satu milieu (lingkungan) yang memungkinkan meraih tiga penerimaan tadi itu, yaitu lingkungan demokrasi.

“Lingkungan demokrasi itu menyediakan ruang besar, ruang leluasa untuk mereka terus melangkah menuju pada penerimaan paling tinggi yaitu legal acceptance. Kenapa? Karena jikalau sekarang ini ada yang berusaha untuk membuat aturan yang melarang mereka, pasti akan dianggap sebagai diskriminasi, pasti akan dianggap sebagai peraturan yang tidak manusiawi,” ungkapnya.

“Mereka pede sekali kalau tidak akan lahir aturan itu. Terbukti kan, Undang-Undang TPKS kemarin kan tidak memasukkan itu sebagai kekerasan seksual,” imbuhnya.

UIY menegaskan, ini yang harus diwaspadai agar apa yang terjadi pada publik Amerika, tidak terjadi di negeri ini. “Publik Amerika itu tahun 50-an itu begitu kerasnya menentang L68T dan mereka sama sekali tidak menduga bahwa 70 tahun kemudian mereka harus menerima kenyataan bahwa L68T bukan hanya harus diterima bahkan dia sah secara hukum,” paparnya mengingatkan.

UIY menegaskan, negeri ini tidak punya basis apa pun untuk menerima demokrasi, baik basis historis apalagi normatif untuk menerima demokrasi. Karena demokrasi lahir dari pengalaman buruk dan gelap. Di masa kemundurannya dipengaruhi oleh tiga persoalan penting. Pertama, otentitas Injil. Kedua, persoalan teologi. Ketiga, pengalaman buruk rezim agama.

Bahkan, lanjutnya, dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tidak ada kata demokrasi. “Bahkan kalau kita membaca notulasi risalah rapat BPUPKI, di sana itu ada ungkapan yang mengatakan Indonesia harus dijaga dari paham-paham Barat. Paham Barat yang harus dijaga untuk tidak masuk Indonesia, di antaranya adalah demokrasi,” ungkapnya.

“Jadi founding father kita dulu itu menyadari bahwa ini (demokrasi), itu paham Barat yang tidak boleh masuk,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *