UIY Ungkap Empat Aspek Kecemasan Jokowi sehingga Cawe-Cawe

Mediaumat.id – Meski salah satu alasannya ingin memastikan Pemilu serentak 2024 dapat berlangsung secara jujur dan adil, sikap cawe-cawe (intervensi) Presiden Jokowi dinilai sebagai bentuk kecemasan dengan aspek yang lain.

“Setidaknya ada kecemasan dalam konteks tiga atau empat aspek,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) dalam Diskusi Online Media Umat: Jokowi Cawe-Cawe, Ada Apa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (4/6/2023).

Pertama, terkait jaminan keberlangsungan program-program pembangunan infrastruktur. Di antaranya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), Ibu Kota Negara (IKN), yang menurut UIY, sudah dianggap sebagai legasi oleh Jokowi.

Kedua, aspek hukum. Sebagaimana diketahui misalnya, pada awal 2021, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya melaporkan di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa kebutuhan investasi proyek tersebut membengkak dari USD6,07 miliar menjadi USD8 miliar atau setara Rp120 triliun.

La wong Formula E yang delapan ratus miliar (rupiah) aja diudeg-udeg (diobok-obok). Delapan ratus miliar loh, enggak sampai 1 triliun,” tandasnya.

Belum lagi proyek pembangunan Sirkuit MotoGP Mandalika, Lombok, NTB. “Apalagi IKN yang katanya tembus sampai 450 hingga 500 triliun (rupiah), pasti ada sesuatu,” imbuhnya.

Artinya, sebut saja dikarenakan tak ingin menderita secara hukum, tentu Jokowi menginginkan suksesornya bisa mengamankan aspek ini.

Ketiga, aspek politik. “Di sana ada Bobby, di sana ada Gibran. Dan perlindungan yang paling bagus itu adalah perlindungan politik,” ujarnya.

Sebab, menurut UIY, benar secara tak langsung Jokowi selama ini sudah membangun politik ‘dinasti’. Tetapi karena baru di level wali kota, bangunan politik dimaksud masih belum cukup kuat, apalagi nanti pasca-berakhirnya masa jabatan sebagai presiden pada 20 Oktober 2024.

“Ini bisa berantakan, kalau dia (Jokowi) tidak punya kekuasaan lagi,” cetus UIY.

Ditambah, masih dari aspek politik, menurut UIY, ada yang lebih spesifik yakni berkaitan dengan kepres (keputusan presiden) dan inpres (instruksi presiden) tentang pelanggaran HAM berat masa lalu.

Untuk diketahui, sebagaimana laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, yang selanjutnya disebut Tim PPHAM, ada 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Tetapi, kata UIY, dari semua itu yang menyedot perhatian publik adalah daftar nomor urut satu, yakni peristiwa 1965-1966, tragedi yang melibatkan PKI.

“Artinya pemerintah hendak mengakui kesalahan dan minta maaf kepada korban (dari pihak PKI). Padahal mereka adalah pelakunya,” ucapnya.

Keempat, aspek bisnis, yang ia kaitkan dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

“Siapa di belakang itu, itu bisa ditelisik,” katanya, seraya menyebut konsekuensi dari pemberlakuan UU tersebut bisa berhenti atau berantakan jika pemimpin yang baru tidak melayani sebagaimana yang Jokowi lakukan.

Maknanya, akan ada tuntutan keras dari publik untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan yang pro konglomerat atau oligarki yang jauh dari kepentingan rakyat.

Karena itulah, Jokowi lantas mendukung dua dari tiga bakal calon pemimpin yang muncul. “Karena itulah dia meng-endorse dua dari tiga,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: