UIY: Siapa Bilang Syarat Jadi Khalifah Diskriminatif?
Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, tidak benar jika sistem Islam dalam hal ini khilafah, diskriminatif berkenaan syarat khalifah yang mengharuskan seorang Muslim.
“Siapa bilang bahwa sistem Islam itu diskriminatif?” ujarnya dalam Focus to The Point: Siapa Diskriminatif? Khilafah atau Demokrasi? di kanal YouTube UIY Official, Kamis (2/1/2025).
Menurutnya, tak harus Muslim sejak lahir, orang yang awalnya kafir pun berpeluang bisa menjadi khalifah ketika khilafah kembali tegak sebagaimana janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah SAW.
Namun ia mencatat, siapa pun harus terlebih dahulu memahami perbedaan antara diskriminasi dengan limitasi seperti halnya sistem politik lain yang juga memiliki ketentuan atau batasan-batasan.
UIY mengambil misal Amerika Serikat (AS) yang selama ini mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahan, berikut limitasi yang mengharuskan seorang presiden adalah warga asli bahkan lahirnya pun harus di sana.
Demikian juga khilafah, dalam hal ini sistem politik Islam, juga memiliki limitasi yang mensyaratkan khalifah adalah seorang Muslim. Pasalnya, seorang khalifah nantinya harus melaksanakan hukum atau syariat Islam di dalam pemerintahan.
“Bagaimana dia (khalifah) diharap melaksanakan hukum syariat Islam kalau dia tidak percaya kepada hukum itu?” tanyanya lebih lanjut.
Hanya, sambung UIY, di dalam sistem politik Islam yang diberlakukan adalah limitasi rasional bukan keadaan seperti di negara AS.
Maksudnya, sekali seseorang lahir tidak di AS, misalnya, tidak akan memungkinkan untuk menjadi presiden di sana. Sebaliknya, siapa pun termasuk orang kafir, dan di mana pun tempat kelahirannya, berpeluang terpilih menjadi khalifah setelah sebelumnya memilih menjadi Muslim.
“Anda tidak akan mungkin menjadi khalifah karena Anda kafir. Tapi begitu Anda Muslim, Anda punya peluang menjadi khalifah, dan itu pilihan (mau menjadi Muslim atau tetap kafir),” kata UIY, menegaskan seputar limitasi dalam Islam yang rasional.
Beda Khilafah, Demokrasi dan Teokrasi
Untuk diketahui, seputar anggapan diskriminatif dan jawaban lugas tersebut dituangkan ke dalam buku berjudul Khilafah, Jalan Menuju Islam Kaffah, hal: 102, dengan penulis UIY.
Di dalamnya, perkara itu menjadi bahan pertanyaan seorang profesor, Don Emerson, Direktur Forum Asia Tenggara di Stanford University, AS, dalam sebuah wawancara dengan dirinya.
Sebelumnya, sebagai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, UIY kerap mendapatkan undangan termasuk dari Profesor Don Emerson yang secara spesifik ingin mengetahui bagaimana pandangan Hizbut Tahrir tentang demokrasi.
Emerson juga ingin membandingkan demokrasi dengan sistem khilafah. “Secara terang-terangan dia ingin melakukan komparasi terhadap sistem khilafah,” ungkap UIY, yang ketika itu mengaku telah melihat satu gejala positif dalam hal ini membandingkan dua atau lebih hal yang memiliki karakteristik serupa secara adil.
Kata UIY, Emerson menganggap jika Hizbut Tahrir yang menolak demokrasi, pada saat yang sama pasti menerima teokrasi sebagaimana teori politik yang dipahami.
Seketika UIY pun mengatakan menolak. Sebab selain peyoratif, sistem pemerintahan teokrasi sarat dengan konotasi buruk. Bahkan secara pengalaman sejarah di Barat, justru demokrasi itu sendiri sebenarnya antitesis dari teokrasi.
“Justru demokrasi itu merupakan antitesis dari teokrasi di mana penguasa itu berbuat, katakanlah dalam bahasa kita, berbuat zalim, berbuat semena-mena, atas nama Tuhan,” ungkap UIY.
Meski selanjutnya dipandang sebagai gerakan yang berjuang melanjutkan kehidupan Islam tetapi seolah-olah tak punya pilihan di dalam spektrum istilah tersebut, UIY kembali menegaskan bahwa Hizbut Tahrir menolak keduanya, baik demokrasi maupun teokrasi.
“Demokrasi menolak, teokrasi menolak. Lalu Anda ini (menerima) sistem apa?” kata UIY menirukan Emerson yang melanjutkan bertanya.
UIY menjelaskan, sistem yang diterima Hizbut Tahrir bahkan umat yang mengaku Muslim pun harusnya demikian, adalah Islam berikut kekhilafahan sebagai bentuk pemerintahannya.
Sistem Islam, sambungnya, pada dasarnya berbeda dengan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atau yang dikenal dengan ungkapan ‘kedaulatan tertinggi di tangan rakyat’. Juga berbeda dengan teokrasi, yang penguasanya malah mendakwa sendiri bahwa dirinya telah dipilih oleh Tuhan untuk berkuasa.
Dalam sistem pemerintahan Islam, justru menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan syara’. “Kalau dalam sistem Islam, sistem khilafah, benar, salah, halal, haram, itu Allah yang menentukan,” tegasnya.
Artinya, pasca-terpilih oleh rakyat, seorang khalifah wajib melaksanakan kedaulatan Allah SWT. “Dia (khalifah) dipilih oleh rakyat untuk melaksanakan kedaulatan syariah, kedaulatan Allah,” pungkasnya.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat