UIY Sebut Kritik Bagian dari Amar Makruf Nahi Mungkar

Mediaumat.id – Terkait kritik para penceramah terhadap pemerintah yang malah dijadikan ciri-ciri penceramah radikal-intoleran oleh BNPT baru-baru ini, Cendekiawan Muslim Indonesia Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengatakan semestinya kritik tersebut dipahami sebagai bagian dari amar makruf nahi mungkar.

“Kriteria yang tadi disebut itu musti harus diletakkan secara tepat. (Karena) kritik itu satu bagian dari amar makruf nahi mungkar,” tuturnya dalam Catatan Demokrasi tvOne: Viral Penceramah Radikal, Selasa (8/3/2022) yang juga diunggah di kanal YouTube tvOneNews.

Bahkan lanjut UIY, sapaan akrabnya, kritik juga harus dipahami sebagai bentuk kepedulian atau bahkan kecintaan kepada bangsa dan negara ini. “Bayangkan kalau pemimpin yang dibiarkan jalan terus, salah dibiarkan segala macam, ini bisa membawa bangsa dan negara yang luar biasa besarnya ini ke jurang kehancuran,” lugasnya.

Memang secara agama, kata UIY, umat Islam tidak diperintahkan untuk menjadi seorang Muslim yang radikal. Sebagaimana juga tidak diwajibkan untuk menjadi Muslim yang moderat.

“Yang pasti bahwa kita ini diminta untuk menjadi Muslim yang bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, ittaqullaha haqqa tuqatih,” tuturnya lagi.

Tak hanya itu, tambahnya, kita pun diperintahkan untuk menjadi Muslim yang kaffah, kalau dalam bahasa Al-Qur’an ya ayyuha ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah, yang artinya, ‘Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan.’

Takwa

“Kalau digabungkan, dua perintah itu, maka takwa itu bisa diartikan melaksanakan seluruh kewajiban tak terkecuali. Semua yang masuk kategori kewajiban itu sebagai konsekuensi dari seorang Muslim bertakwa itu semestinya dilakukan, dan semua yang dilarang itu semestinya ditinggalkan. Itu dari sisi agama,” paparnya.

Maka itu, ia pun menyesalkan dengan istilah radikal yang kini justru disematkan pada seseorang yang sekadar ingin menjadi Muslim kaffah.

Padahal dulu, ucap UIY mengisahkan, Bung Karno pernah mengatakan, untuk bisa merdeka diperlukan partai pelopor yang bersifat radikal dinamis. “Jelas radikal di sini bermakna positif karena ini akan menjadi energi perlawanan, perjuangan bagi merebut kemerdekaan,” tegasnya.

Tetapi sekarang, kata UIY, istilah radikal sudah menjadi peyoratif. “Ini kategori bukan kategori agama, tetapi sudah kategori politik itu,” ujarnya.

Sehingga, apabila sudah terkategori politik, maka menurut UIY, pasti bergantung kepada perspektif, kepentingan atau bahkan kepada ideologi politik.

Sedangkan sebenarnya, ceramah yang dilakukan oleh nama-nama tersebut dalam kriteria BNPT, dari dulu hingga sekarang tetap sama. “Kenapa baru sekarang mereka disebut radikal? Padahal isi ceramahnya sama,” herannya dengan sekali lagi menyatakan, bahwa semua itu hanya soal perspektif politik.

“Kita semua tahu bahwa ini semua terjadi kan setelah konstelasi Pilkada DKI 2017. Sebelum itu kita baik-baik aja kok,” ungkapnya.

Di sisi lain, ketika kategori politik digunakan untuk menilai kegiatan agama, pasti akan bermasalah. Mestinya, kegiatan agama dinilai dengan kategori agama juga. “Jadi harus dipahami seperti itu,” harapnya.

Sebagaimana dulu, sebelum masyarakat memahami serta menerima sistem perbankan syariah dan kerudung sebagai perubahan, diperlukan dakwah hingga belasan tahun untuk itu.

“Ini dakwah. Kalau dakwah, dibiarkan dakwah. Nah kalau kemudian masyarakat menerima atau tidak, itu soal kedua,” ucapnya sembari berargumen bahwa dakwah di dalam ajaran Islam wajib senantiasa disampaikan bagi yang terlebih dahulu memahami.

Bahwa setelah itu sistem seperti saat ini berlangsung masih berjalan, kata UIY, ini merupakan fakta-fakta sosial politik yang juga merupakan produk atau hasil dari dinamika masyarakat.

“Andai misalnya, publik itu atau masyarakat menolak, kan kita juga tidak bisa memaksakan. Tetapi yang terjadi sekarang belum apa-apa sudah dilarang. Kalau sudah dilarang, lalu bagaimana masyarakat paham?” tanyanya dengan sedikit menyinggung pencabutan BHP HTI melalui Perppu tahun 2017 lalu.

Enggak Sambung

Oleh karena itu UIY berharap, kriteria-kriteria yang dimaksud tadi hendaknya diklarifikasi dan diperjelas lagi. “Ini menurut saya enggak nyambung dengan apa yang tengah dihadapi oleh bangsa dan negara ini,” tukasnya.

Sebutlah KKB di Papua yang meskipun telah melakukan banyak pembunuhan, baik kepada rakyat sipil terlebih aparat, tidak dikatakan radikal. Bahkan kabar terbaru, kelompok kriminal bersenjata tersebut telah membunuh 8 orang pekerja di sana.

Berikutnya, kata UIY, hanya untuk membeli seliter minyak goreng, ibu-ibu harus antre hingga berjam-jam. Padahal diketahui, negara telah memproduksi CPO sekitar 46 juta ton per tahun. Sementara itu, untuk konsumsi rumah tangga kurang dari 17 juta ton. “Ke mana yang sebagiannya itu? Kenapa bisa hilang begitu? Ini persoalan konkret,” bingungnya.

Belum lagi persoalan korupsi yang sebagian dari mereka terjerat operasi tangkap tangan (OTT), ternyata sebelumnya pernah mengatakan: ‘saya Indonesia, saya Pancasila’. “Begitu juga dengan liberalisme ekonomi, segala macam itu yang membuat sumber daya alam itu lebih banyak dinikmati oleh sekelompok orang,” bebernya.

Lalu tiba-tiba muncul seorang pejabat bahkan presiden sekalipun turut mengangkat masalah radikalisme. “Seolah-olah problem negara ini ditimbulkan oleh radikal-radikul ini,” sedihnya.

“Karena itu menurut saya ini penting untuk energi bangsa ini difokuskan kepada persoalan-persoalan yang tadi dihadapi oleh negara ini,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: