Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyebutkan enam persoalan terkait dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 yang mewajibkan para pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
“Saya mencatat setidaknya ada enam persoalan terkait Tapera ini. Ini sekaligus menjawab apakah Tapera ini akan menjadi beban atau tidak bagi rakyat,” tuturnya di Fokus, Tapera: Tabungan Peras Rakyat? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (2/6/2024).
Pertama, ini sebenarnya pungutan atau tabungan? “Bolak-balik dijelaskan bahwa ini adalah tabungan. Kalau tabungan kenapa dipaksa? Kalau dipaksa itu sudah mirip pungutan atau tabungan paksa. Nah sejak kapan ada tabungan paksa? Ini yang saya kira telah membawa negara kita ini kepada apa yang disebut kalau dalam istilah kitabnya itu daulah jibayah (negara pemalak),” ungkapnya kesal.
Menurutnya, negara pemalak ini meninggalkan substansi penting negara sebagai pengurus rakyat (daulah riayah).
“Jika ini tabungan, boleh tidak diambil sewaktu-waktu? Kalau tabungan mestinya boleh dong diambl sewaktu-waktu, tapi pasti tidak boleh diambil sewaktu-waktu, disebutkan tadi sampai program ini selesai. Kalau tidak boleh diambil sewaktu-waktu, berarti pekerja yang dipungut itu dia telah kehilangan hak atas uangnya,” kritiknya.
Kedua, kenapa yang sudah punya rumah juga wajib ikut tabungan? “Tadi, disebutkan bahwa yang punya rumah membantu yang belum punya rumah. Lagi-lagi kalau ini gotong-royong kan mestinya sukarela, kenapa ini dipaksa?” tanyanya.
Manfaat pemupukan (bunga) yang dijanjikan pemerintah bagi peserta Tapera juga dipertanyakan oleh UIY.
“Kita sudah tahu bunga itu haram. Jadi bagaimana bisa kita dipaksa mengumpulkan duit milik kita lalu nanti akan mendapatkan manfaat berupa bunga. Sudahlah maksa lalu ngasih bunga kan jadi enggak karu-karuan gitu,” tuturnya penuh emosi.
UIY juga memaparkan fakta bahwa investasi belum tentu menghasilkan keuntungan.
“Ini bukan dugaan, tetapi sudah terbukti, Asabri kehilangan dana 23 triliun atas nama investasi, Jiwasraya 17 triliun hilang atas nama insvestasi juga. Ini dilakukan oleh oknum-oknum yang pasti bekerja sama (kolusi) dengan pengelola dari dana itu,” ucapnya mencontohkan.
Ketiga, bagaimana pola orang yang mengikuti Tapera ini akhirnya bisa mendapatkan rumah? “Kalau punya gaji 10 juta, dipotong 3% sama dengan 300.000 dikali 12, sama dengan 3,6 juta 1 tahun. Kalau bekerja selama 50 tahun yang terkumpul 3,6 juta x 50 = 180 juta. Ini hari 180 juta untuk beli teras rumah saja mungkin enggak cukup, apalagi beli rumahnya,” ulasnya.
Keempat, kalau KPR saat pekerja nyicil posisinya sudah punya rumah yang dicicil, tetapi kalau Tapera, sudah membayar tapi belum punya rumah dan tidak jelas kapan dia dapat rumah.
Kelima, pengumpulan dana ini enggak ada urgensinya buat mereka yang sudah punya rumah, kenapa tetap dipungut?
Keenam, mereka yang bergaji rendah tidak dipungut iuran, sementara justru merekalah yang sangat membutuhkan rumah, sehingga bagaimana skema membantu mereka agar mendapatkan rumah? Tidak jelas.
Kesulitan
UIY merasa heran, pemerintah selalu mengeluh kesulitan dana untuk membantu rakyat, tetapi sumber-sumber ekonomi yang aslinya milik rakyat justru dilepas kepada segelintir orang.
“Pengelolaan sumber daya alam khususnya batu bara di negeri ini ada 380.000 ladang yang dikuasai tujuh perusahaan dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Menurut Undang-Undang Minerba Tahun 2009 seharusnya habis masa konsesinya tuh kembali kepada negara untuk diprioritaskan bagi BUMN, BUMD,” bebernya.
Namun UIY menyayangkan terjadi perubahan UU sehingga 7 perusahaan batu bara tersebut tetap mendapat izin perpanjangan. Padahal, menurutnya, potensi hasil dari batu bara ini bisa mencapai 65 triliun.
“Aneh kan? Di satu sisi pemerintah bilang kesulitan memberikan pembiayaan kesehatan, pendidikan, perumahan, tetapi sumber daya ekonomi milik rakyat senilai 65.000 triliun dilepas kepada tujuh perusahaan batu bara,” herannya.
Oleh karena itu, dalam pandangan UIY hal-hal semacam ini harus diketahui oleh rakyat, dan rakyat berhak menolak atau mempersoalkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
“Mestinya sumber daya ekonomi ini yang hakikatnya milik rakyat, dikuasai oleh negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat bukan dilepas begitu saja untuk sekian gelintir orang,” sesalnya.
Menurutnya, masyarakat sudah kehilangan harapan terhadap kapitalisme, liberalisme, sekularisme yang menimbulkan kerusakan semakin menjadi-jadi di semua lini kehidupan.
Islam
Ia yakin tidak ada kemuliaan kecuali dengan Islam, sehingga harus dibangun keyakinan yang kokoh bahwa hanya Islamlah sumber kemuliaan.
“Harus ada keyakinan juga bahwa tidak ada Islam kecuali dengan penerapan syariah secara kaffah, karena syariah itu ketentuan Allah yang ditetapkan untuk kebaikan manusia untuk kebaikan kita, dan pasti kebaikan untuk semua orang,” yakinnya.
Ia melanjutkan, tidak ada penerapan syariah secara kaffah kecuali di dalam daulah khilafah, karena daulah khilafah memang dimaksudkan untuk penerapan syariah Islam kaffah.
“Juga harus ada kesadaran yang sangat dalam, kesadaran tauhid untuk menghilangkan fobia-fobia terhadap syariat Islam dan sebagainya,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat