UIY: Riba Bukan Sekadar Keyakinan, Tetapi…

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) membenarkan, bahwa riba bukan hanya soal keyakinan tetapi lebih kepada sebuah sistem ekonomi. “Iya, dan itu bisa dibuktikan,” tegasnya dalam Diskusi: Sisi Lain UIY Dikorek RH (Rafly Harun), Selasa (26/7/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Terlebih secara faktual, lanjutnya, peran uang sebagai kekuatan dari suatu perekonomian tidak boleh berhenti. Artinya, uang itu memang harus terus bersirkulasi.

Sebagaimana pula yang dilakukan beberapa negara besar, semisal Cina, Amerika Serikat, Jepang, kata UIY, justru tidak memberikan bunga bank untuk memicu perekonomian agar orang tidak menyimpan uang di bank.

“Bahkan di Jepang kan bunganya negatif (negative interest rate). Artinya, yang nyimpan malah harus bayar. Bukan malah dapat bunga,” bebernya.

Dengan kata lain, melansir keterangan dari salah satu tulisan Hasan Zein Mahmud, Tim Ekselensi Learning Center, pengajar pada Kwik Kian Gie School of Business, secara teoritis tingkat bunga negatif bertujuan memacu kembali ekonomi yang mandek atau mengerem kenaikan nilai mata uang yang terlalu tajam (pernah dilakukan Bank Sentral Swiss beberapa kali).

Silent Killer

Lantaran itu ibarat darah, uang harus terus bersirkulasi. “Begitu dia stagnan, jangan lagi berhenti, ada gangguan saja, maka banyak orang akan kehabisan darah,” sebut UIY.

“Kalau ke otak itu strok, kalau ke jantung, wassalam. Dan itu yang disebut dengan silent killer,”_ sambungnya, seraya mengatakan kondisi demikian sudah terkategori fatal.

Maka itu, ia sependapat dengan pernyataan Kiai Masdar Mas’udi yang menurutnya pernah menyampaikan bahwa tidak berguna agama yang tidak bisa turut serta menyelesaikan masalah.

“Pertanyaannya adalah lalu bagaimana konkretnya Islam itu turut serta menyelesaikan masalah-masalah (ekonomi) itu?” lugasnya.

Dalam hal sistem perekonomian, terutama terkait dengan riba, UIY kembali menjelaskan bahwa Islam senantiasa mendorong agar uang terus bergerak sekaligus melarang segala yang membuat sirkulasi itu berhenti.

“Kalau kita membaca Islam, Islam itu selalu mendorong untuk uang itu terus bergerak dan melarang segala sesuatu yang membuat uang itu berhenti,” ujarnya.

Malah berkenaan dengan pembuktian sebagaimana yang ia utarakan tadi, terdapat satu studi yang menurutnya menarik di dalam buku berjudul Ilajul Musykilah al-Iqtishadiyah bil Islam (Menyelesaikan Problem Ekonomi dengan Cara Islam) karya Dr. Thahir Abdul Muhsin Sulaiman.

Disebutkan dalam buku itu, bahwa pertumbuhan ekonomi di dalam sistem kapitalis bersifat siklik. “Artinya, ketika dia tumbuh, dia tumbuh menuju puncak. Setelah sampai puncak dia jatuh lagi,” ulas UIY memaknai.

Lantas mengenai lama tidaknya siklus terkait itu, kata Dr. Thahir, bergantung pada faktor fundamental ekonominya. “Kalau fundamental ekonomi di negara itu cukup bagus maka siklusnya agak sedikit panjang,” kutip UIY.

Sebutlah negara-negara di Eropa semacam Skandinavia yang menurut buku tersebut kira-kira 25 tahun. “Tetapi kalau negara-negara di Asia Tenggara macam Indonesia itu, menurut dia itu lima sampai tujuh tahun,” ungkap UIY.

“Dan itu bisa dibuktikan bahwa memang kita itu setiap kira-kira 5-7 tahun itu pasti mengalami krisis,” imbuhnya.

Mempertegas, di dalam studi lain dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam, misalnya, dikatakan selama seratus tahun, Indonesia telah mengalami 20 kali krisis. Artinya memang tiap lima tahun negeri ini mengalami krisis ekonomi.

“Jadi larangan riba itu, itu dia bisa dipahami secara faktual, secara empirik, bahwa memang itu sumber labilitas ekonomi,” tuturnya.

Ia juga melihat, riba selalu problematik. “Kita mau taruh bunga tinggi itu masalah, kalau bunga rendah juga masalah,” paparnya.

Maksudnya, apabila bunga rendah orang tidak antusias menyimpan uang di bank. Dampaknya bank tidak bisa menyalurkan uang (kredit) ke pelaku usaha.

“Kegiatan usaha turun, lalu tenaga kerja tidak terserap, akibatnya kemudian pendapatan masyarakat turun, bisa timbul problem sosial,” urainya.

Sebaliknya, menjawab bagaimana jika bunga bank ditinggikan, UIY menegaskan benar uang akan masuk ke bank. Namun, ekonomi enggak otomatis bakalan jalan.

Sebabnya, pelaku usaha mana yang akan mengajukan kredit ke bank. “Zaman krismon (1998 ) itu bunga bank sampai 60 persen waktu itu. Akhirnya kemudian bunga pinjaman itu ditaruh 40 persen,” ulasnya, sembari mengatakan mahalnya bunga kredit saat itu.

“Sementara di dalam teori ekonomi kapitalis sekarang kalau ada masalah moneter, itu alat untuk menyelesaikannya itu ya naik turunnya bunga,” ucapnya menyayangkan.

Dengan demikian, riba berikut istilah suku bunga acuan di dalam teori sistem ekonomi kapitalistik, tidak ada yang ideal. Sehingga kata UIY sekali lagi, tidak bisa pula dijadikan sebagai instrumen menyelesaikan masalah.

“Tinggi atau rendah atau berapa persen itu menunjukkan bahwa bunga itu memang tidak bisa dijadikan sebagai instrumen menyelesaikan masalah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: