Mediaumat.id- Menyoroti mahalnya biaya politik demokrasi, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa politik uang tidak bisa dihilangkan dalam sistem demokrasi.
“Politik uang hampir tidak bisa dihilangkan, karena ini kan proses-proses politik yang selalu memerlukan lumasan-lumasan uang dari hulu sampai hilir,” tuturnya dalam Focus to The Point: Biaya Mahal Demokrasi, Rawan Korupsi, Senin (11/9/2023) melalui kanal YouTube UIY Official.
Dari hulu, lanjutnya, untuk mendapatkan tiket persetujuan pencalonan dari partai-partai itu sudah uang, kemudian ketika pengajuan, lalu ketika kampanye, saksi, bahkan kemudian bagaimana cara untuk merayu konstituen untuk memilih dia itu semua uang.
“Konstituen ini hari juga pragmatis, dia akan memilih siapa yang memberikan uang. Artinya hampir mustahil seseorang itu menang kalau tanpa uang,” imbuhnya.
Menurutnya, sangat jarang para caleg menggunakan uang sendiri, tetapi menggunakan uang orang lain yaitu botoh.
Ini, lanjutnya, pernah disampaikan oleh Menkopolhukam bahwa 80-90 persen anggota legislatif, pilkada, semua dibiayai botoh.
“Botoh itu pasti juga tidak akan memberikan secara cuma-cuma. Sebelumnya pasti akan ada janji-janji apa yang nanti bisa dipakai untuk mengembalikan itu semua plus keuntungannya,” jelasnya.
Kontradiktif
Fakta mahalnya ongkos politik demokrasi sehingga menjadi titik rawan maraknya korupsi, tetapi masih juga dipraktikkan, dinilai UIY, sebagai kenyataan yang kontradiktif.
“Ini satu kenyataan yang sangat kontradiktif dan paradoksal. Satu sisi kita sangat paham bahwa keadaan itu memberikan implikasi yang sangat nyata bahwa pada akhirnya siapa pun yang berhasil meraih jabatan melalui proses yang tadi itu, itu pasti akan menggunakan jabatannya untuk mengembalikan modal,” bebernya.
Ia mencontohkan mahalnya ongkos politik demokrasi. “Dulu biaya pemilihan gubernur Jawa Timur itu lebih dari satu triliun. Untuk presiden, konon bisa 30 triliun lebih. Karena itu kita bisa menduga kalau apa yang dia lakukan dalam masa jabatannya adalah menutup atau mengembalikan cost tadi,” bebernya.
Politikus yang seperti itu, imbuhnya, akan selalu berpikir bukan untuk rakyat tapi pasti akan berpikir bagaimana mengembalikan cost (biaya) itu baik melalui kewenangannya maupun di dalam alokasi pengelolaan dana APBN atau APBD.
“Kewenangan inilah yang sering disebut sebagai memperdagangkan kewenangan. Memperdagangkan kewenangan dalam izin, dalam lisensi, dan seterusnya. Dan itu pasti akan masuk kepada pengertian korupsi, gratifikasi, suap dan sebagainya,” ulasnya.
Dalam APBN d atau APBD, ucapnya, akan terjadi inefisiensi karena di situ ada peluang mengambil sebagian ongkos pembangunan. “Kalau dalam bahasa ekonomi disebut icor (angka yang menunjukkan inefisiensi) dalam pembangunan infrastruktur,” tandasnya.
UIY menyebut politisi yang tahu keburukan politik demokrasi tetapi tidak mau meninggalkannya merupakan cermin rapuhnya tauhid.
“Dia sudah ngerti bahwa ini buruk, tapi masih juga dilakukan. Ini cermin dari rapuhnya tauhid, rapuhnya keimanan, rapuhnya konsisten, rapuhnya ketaatan kepada Allah SWT, dan ini juga menunjukkan bahwa dia lebih tunduk kepada nafsu buruknya ketimbang taat kepada Allah,” nilainya.
Islam
UIY mengatakan, dalam sistem politik Islam, khususnya dalam pemilihan khalifah mungkin saja butuh dana besar, tapi kebutuhan dana besar itu tidak akan terjadi pada pemilihan wali (setara gubernur) dan amil (setara bupati) karena dipilih langsung oleh khalifah.
“Meski pemilihan khalifah bisa jadi membutuhkan dana besar, kemudian ada orang yang mau membiayai lalu dapat kompensasi, tetapi ada tiga barier (penghalang) yang membuat dia tidak mungkin melakukan apa yang ini hari dilakukan orang,” ungkapnya.
Ia pun menjelaskan ketiganya. Pertama, dia tidak mungkin menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. “Sementara ini hari salah satu yang diperdagangkan adalah apa yang tidak boleh menjadi boleh. Misalkan kebijakan dan regulasi itu sekarang bisa diperdagangkan,” tukasnya.
Kedua, ada pengawasan dari masyarakat, dan pengawasan ini melekat di dalam agama. “Artinya tidak mungkin muncul kasus sebagaimana yang mencuat bahwa pengawasan dianggap sebagai radikal, karena amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban seorang Muslim,” bebernya.
Pengawasan ini, imbuhnya, akan membuat orang yang memperdagangkan kewenangan, lalu menghalalkan yang haram, akan mudah dikoreksi oleh masyarakat.
Ketiga, takwa. Takwa akan mencegah berbuat curang atau menjual kewenangannya untuk sekadar jabatan atau sekeping uang. Apalagi dalam Islam ada larangan suap, baik yang menyuap atau yang disuap itu di neraka,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun