UIY: Perbedaan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan Sarat Ego Nasionalisme

 UIY: Perbedaan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan Sarat Ego Nasionalisme

Mediaumat.info – Terkait penetapan awal dan akhir Ramadhan yang menjadikan umat Islam hampir selalu berselisih, dinilai lebih karena persoalan politik berikut ego nasionalisme.

“Nyatalah bahwa itu semua terjadi lebih disebabkan oleh persoalan politik yaitu ego nasionalisme,” ujar Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY), dalam video Tentang Beda Lebaran, Rabu (3/4/2024) di akun TikTok pribadinya @ismailyusanto.

Dengan kata lain, semua itu karena dalih yang muncul dari batas-batas imajiner politis nasionalistik ketimbang dalil agama, dalam hal ini Islam.

Seperti diketahui, negeri-negeri Muslim menetapkan sendiri awal dan akhir Ramadhan berdasarkan perhitungan ataupun rukyat hilal di wilayah masing-masing.

“Bila di wilayah itu tidak terlihat hilal maka langsung dianggap hilal tak terlihat, tanpa menunggu hasil rukyat di negeri Muslim lain, bahkan di negeri Muslim yang berdekatan sekalipun,” terangnya.

Pula secara Indonesia, dalil prinsip wilayatul hukmi sesungguhnya tidak ada. “Apa dalilnya bahwa wilayatul hukmi itu membentang dari Sabang sampai Merauke? Dijawab, tidak ada,” ulas UIY, ketika bertanya kepada salah satu figur sentral dalam tiap sidang itsbat di negeri ini.

Bahkan, kendati ada seorang Muslim melihat hilal tetapi di saat yang sama hasil perhitungan menunjukkan hilal masih di bawah batas yang memungkinkan untuk melihat hilal (imkanur rukyah), kesaksian tersebut harus ditolak (detik.com, 29/8/2011).

Padahal, penentuan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya terkait erat dengan peredaran bumi, bulan dan matahari, yang menurut UIY, sama sekali tidak ada kaitannya dengan dalih politis batas-batas negara.

Namun, dikarenakan sebagian kaum Muslim menggunakan prinsip wilayatul hukmi yang konon diambil dari pendapat Imam Syafi’i tentang jarak matla’ maka perbedaan awal dan akhir Ramadhan di tengah umat Islam pun hampir selalu terjadi.

Lebih jauh, pendapat ini didasarkan pada hadis Kuraib yaitu pembahasan antara Kuraib dan Ibnu Abbas yang kemudian dianggap sebagai awal munculnya istilah matla’.

Matla’ menurut terminologi astronomi adalah batas wilayah yang terlihat dari hilal. Dengan istilah lain matla’ adalah batas geografis sahnya rukyat. “Intinya jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari daerah di mana hilal terlihat, bisa mengikuti hasil rukyat itu,” jelas UIY.

Tetapi penting untuk dipahami, katanya lebih lanjut, bahwa jumhur ulama tidak menganggap perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan didasarkan pada matla’ atau ikhtilaf al-mathali’. Sebutlah Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhu as-Sunnah, yang mengatakan hal itu.

“Karena itu kapan saja penduduk di satu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri (lain) berpuasa,” ujarnya, sebagaimana sabda Nabi SAW, yang artinya:

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari” (HR Bukhari, no. 1776).

Menurut UIY, seruan ini bersifat umum mencakup seluruh umat Islam. Maknanya, siapa saja dan di mana pun di antara kaum Muslim melihat hilal, maka rukyat tersebut berlaku bagi seluruh umat Islam.

Tak ayal, perbedaan itu akhirnya menambah kesedihan umat termasuk dirinya yang melihat kaum Muslim kini seperti berjalan tanpa arah. “Rasa sedih itu kadang juga bertambah menyaksikan keadaan umat ini yang seperti berjalan tanpa arah,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *