Mediaumat.id – Keputusan penaikan harga BBM oleh pemerintah di awal bulan ini, dinilai Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) bukan untuk kepentingan masyarakat secara umum tetapi lebih kepada para pemilik modal (kapitalis).
“Kebijakan kenaikan harga BBM ini tak lain demi memuluskan program liberalisasi migas utamanya sektor hilir yang harus dilakukan, demi kepentingan para pemilik modal,” ujarnya dalam Diskusi Online: BBM Naik, untuk Siapa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (11/9/2022).
“Baik di dalam maupun luar negeri yang ingin jualan migas di negeri ini, yang memang pasarnya terus tumbuh seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan konsumsi BBM,” sambungnya.
Sehingga, menurutnya, tidak ada satu pun alasan rasional yang bisa diterima terkait kebijakan penaikan harga tersebut.
Apalagi di tengah kondisi rakyat yang tengah berusaha bangkit akibat dampak panjang pandemi. “Ini pemerintah alih-alih membantu rakyat yang tengah berusaha bangkit, malah memukul dengan telak dengan kebijakan menaikkan harga BBM,” geramnya.
Apalagi juga, sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers: Nota Keuangan & RUU APBN 2023, Selasa (16/8/2022), secara terang benderang diketahui APBN sedang surplus, karena windfall komoditas selama dua tahun terakhir, yaitu di tahun 2021 yang memberikan sumbangan Rp117 triliun, dan tahun 2022 ini lebih tinggi lagi yakni Rp279 triliun.
“Kok ya tega-teganya hanya demi Rp31 triliun (estimasi penghematan APBN pasca penaikan harga BBM) pemerintah itu (justru) menaikkan harga BBM yang menyusahkan sekian ratus juta, sekian puluh juta rakyat Indonesia,” ucapnya prihatin.
Aneh
Adalah hal aneh apabila pemerintah tahu dampak dari penaikan harga BBM bakal menyengsarakan rakyat, tetapi tetap saja melakukan itu. “Lebih aneh lagi jika sudah diprotes begitu rupa tetap saja anteng enggak ada usaha untuk mengoreksi kebijakan itu,” sesalnya.
Pasalnya, lanjut UIY, selain pangsa pasar yang menjanjikan, Indonesia adalah negara yang juga memiliki cadangan migas sangat besar yang menurut catatan Dewan Energi Nasional, RI memiliki cadangan minyak 4,2 miliar barel, gas 62,4 TCF dan batu bara 38,8 miliar ton.
Begitu pula pangsa pasar apabila berdasarkan data kendaraan per pulau, yang diterbitkan oleh laman korlantas.polri.go.id, Rabu (10/8/2022), total kepemilikan kendaraan di Indonesia mencapai 149.707.859 unit.
“Dengan jumlah penduduk Malaysia, Singapura, Thailand digabung, lebih banyak jumlah motor (kendaraan) kita,” ucapnya sedikit berseloroh, seraya menyebutnya sebagai hal yang luar biasa.
Lantas ia pun menyampaikan pernyataan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, menteri ESDM ke-12 yang dikutip Kompas (14 Mei 2003) kala itu yang mengatakan, liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas… Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk (Kompas, 14 Mei 2003).
“Ini mengonfirmasi apa yang selama ini kita cermati bahwa kenaikan harga BBM terus-menerus diiringi dengan pencabutan subsidi itu tak lain adalah dalam rangka untuk menyukseskan liberalisasi migas di sektor hilir demi kepentingan pemain asing,” tegasnya.
Bahkan sekadar informasi tambahan, berdasarkan pengakuan IMF pada dokumen Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000), dinyatakan bahwa ‘Pada sektor migas, pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional dan membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional’.
Kemudian komitmen ini pun dilanjutkan secara serius melalui Memorandum of Economic and Financial Policies/MEFP (LoI IMF, Juli 2001) bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi.
Setali tiga uang dengan IMF, lembaga asing lainnya seperti World Bank dan USAID juga memiliki peran yang cukup sentral dalam upaya liberalisasi ini. Seperti pernyataan USAID yang artinya, ‘USAID telah membantu pembuatan draf UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi’.
Dan itu terbukti dengan lahirnya UU Migas seperti saat ini yang lebih pro kapitalis dibanding kepada rakyat.
Dengan kata lain, lanjut UIY menegaskan kembali, liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas.
Sehingga kalau pun ada yang menyebut membebani APBN, kata UIY, harusnya menunjuk pada besaran bunga dan cicilan pokok utang yang sudah mendekati Rp700 triliun. “Bunganya saja kan sudah Rp414 triliun kalau tidak salah itu di dalam APBN kita,” ungkapnya.
Herannya, itu enggak pernah diotak-atik. Dengan kata lain, selalu dibayar penuh dan tepat waktu. Sementara subsidi yang notabene dinikmati sekian banyak rakyat Indonesia, tidaklah demikian. “Selalu diganggu, selalu dikata-katain macam-macam, membebanilah, terlalu besarlah, tidak tepat arahlah, segala macam itu,” ulasnya.
Gugat
Oleh karena itu, ia setuju apabila kebijakan tersebut digugat. Namun bukan dengan pansus beranggotakan DPR yang telah mengesahkan UU Migas dan telah membuka pintu liberalisasi itu sendiri.
“Mustinya harus ada komisi independen atau komisi penegak kedaulatan energi negara atau apa segala macam untuk melakukan ini semua, membongkar ini semua,” cetusnya.
Di sisi lain menurut pandangan Islam, UIY menerangkan bahwa sumber daya energi termasuk migas sesungguhnya adalah milik seluruh warga negara.
“Sesungguhnya manusia berserikat, artinya memiliki secara bersama, air, padang rumput/hutan, api/energi,” terangnya mengutip hadits riwayat Imam Thabrani berkenaan dengan migas yang termasuk kepemilikan umum.
Maksudnya, jelas UIY, tidak ada hak dalam pandangan Islam, sebuah negara menyerahkan hak pengelolaan migas kepada orang per orang, maupun swasta, apalagi asing.
Tengoklah bagaimana negara saat ini bisa mengelola sumber daya alamnya secara langsung jikalau ‘tangan’ kekuasaan tidak bisa menggapainya.
“Tangan negara melalui apa? Melalui BUMN (Pertamina). BUMN sudah diamputasi, dikerdilkan melalui UU Migas. Kan aneh,” sebutnya.
Sehingga kembali menjadi pertanyaan sangat mendasar, mengapa BUMN Pertamina yang dahulu menjadi operator tunggal sebagaimana amanat UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut perusahaan swasta lainnya hanya sebagai kontraktor, kini ibarat anak kandung yang dianaktirikan.
Dengan kata lain, setiap ada sumber migas baru, Pertamina sebagai BUMN harus mengikuti proses lelang (tender) bersama perusahaan swasta lainnya untuk bisa menggarapnya yang dalam pengamatan UIY, bisa menang dan kalah. “Tetapi lebih sering kalah. Karena dia berhadapan dengan raksasa-raksasa migas yang ada,” pungkasnya.[] Zainul Krian