UIY: Oligarki Gunakan Demokrasi sebagai Alat Legitimasi

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa oligarki itu lahir dari sebuah kolam kapitalisme yang menggunakan demokrasi sebagai alat legitimasi.

“Oligarki ini lahir di dalam sebuah kolam kapitalisme yang menggunakan demokrasi sebagai alat legitimasi,” tuturnya dalam Diskusi Online Media Umat: Negara Semakin Tak Berdaya? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (13/2/2022).

Menurutnya, demokrasi hari ini bukan sebagai sebuah tatanan yang digunakan untuk menyalurkan aspirasi rakyat (karena dianggap rakyat itu berdaulat), tapi ini digunakan sebagai alat legitimasi.

“Sekarang kita mau bilang apa ketika wakil rakyat sudah mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja? Kita mau bilang apa ketika wakil rakyat sudah mengesahkan Undang-Undang IKN? Kita mau bilang apa ketika wakil rakyat mengesahkan Undang-Undang Minerba yang menggorok hak rakyat atas tambang-tambang itu? Kita mau bilang apa?” tanyanya.

“Kita tidak bisa bilang bahwa itu tidak absah, karena faktanya absah, secara prosedural. Jadi kita mesti kritisi ini bahwa demokrasi itu sekarang menjadi alat. Demokrasilah pintu dari semua yang terjadi ini hari,” imbuhnya.

Menurutnya, kapitalisme menggunakan demokrasi dan oligarki menggunakan demokrasi untuk melegalkan semua keinginan. “Baik untuk kaitannya dengan kekuasaan maupun bisnis mereka,” tegasnya.

Dua pilihan

Untuk mengubah kondisi yang sekarang terjadi, menurut UIY, ada dua pilihan. Pilihan pertama jalan formal konstitusi, jalan yang kedua non formal konstitusi.

UIY mencontohkan kasus penggulingan Presiden Soeharto. “Pak Harto itu dulu konstitusional iya, nonformal juga,” bebernya.

Formalnya, lanjutnya, Dia baru berkuasa Maret 1998, mestinya baru berakhir tahun 2003. Tapi baru tiga bulan menjabat suruh turun dia, dan turun dia, lalu orang bersorak, semuanya menerima. “Berarti itu konstitusional tapi non formal juga,” simpulnya.

“Nah bagaimana konstitusional nonformal itu? Sepanjang masih ada kelompok sadar, peluang itu masih tetap ada. Kenapa, karena kelompok sadar ini yang akan terus memberikan cahaya di tengah kegelapan. Orang pasti memerlukan cahaya. Dan cahaya itu semakin gelap itu semakin berharga. dan saya kira di situ poinnya,” jelasnya.

Menurutnya, apakah orang itu akan mengikuti cahaya atau tidak, waktu yang akan menentukan. “Akan membuktikan, akan menceritakan kepada kita. Tapi jangan berhenti memberikan cahaya. Cahaya kebenaran, cahaya keberanian, cahaya pemihakan kepada nilai-nilai kebenaran ini,” ujarnya.

“Tidak boleh takluk oleh kuasa uang, harus ada yang bisa bertahan. Dia takluk bukan demi kuasa uang tapi demi kuasa dari sesuatu yang memang betul-betul untuk yang Mahakuasa. Itulah Allah SWT. Kalau itu masih ada maka peluang untuk jalan konstitusional nonformal masih ada,” nasehatnya.

Terpisah

Dalam kesempatan tersebut, UIY juga menjelaskan hadits Rasulullah SAW tentang terpisahnya penguasa dan Al-Qur’an.

“Nabi 1400 tahun yang lalu itu pernah mengatakan begini, ‘akan tiba masa di mana penguasa dan Al-Qur’an itu akan berpisah.’ Menurut saya hadits ini penting untuk memberi petunjuk kepada kita, kita mesti bagaimana gitu,” terangnya.

UIY lalu menjelaskan tanda kapan penguasa dan Al-Quran itu berpisah. “Kata Nabi, ‘mereka mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri, tidak mengambil keputusan untuk kalian’. Ini hari saya kira itu terjadi. Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN, itu untuk mereka. Jadi bukti-bukti bahwa mereka mengambil keputusan untuk mereka itu nyata sekali,” jelasnya.

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Nabi mengatakan, ‘janganlah engkau memisahkan diri dari Alkitab’, dari kebenaran, dari sumber kebenaran, dari sikap kebenaran. Tidak boleh kita memisahkan diri. Sampai kapan? Sampai kapan pun dengan resiko apa pun. Sampai Nabi menggambarkan, ‘jika pun engkau harus mengalami seperti yang dialami oleh kaum Nabi Isa’. Khawariyyun itu sampai dibunuh di tiang salib, dikelupas kulit tubuhnya,” tegasnya.

Di ujung hadis itu, kata UIY, ada nasihat yang sangat penting buat kaum Muslim. “’Mati dalam taat kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam maksiat pada Allah SWT.’ Ini hadits sangat inspiratif memberikan landasan sikap kita untuk tetap kokoh di jalan kebenaran. Mengapa? Karena sekuat-kuatnya penguasa itu tidak akan pernah bisa bertahan selama-lamanya sepanjang ada perlawanan,” ujarnya.

Teladan Nabi Musa as

UIY menegaskan, tidak boleh tidak, ada Nabi Musa as ketika berhadapan dengan Fir’aun. Fir’aun itu prototipe yang sudah mengumpulkan seluruh kekuasaan di tangan dia. Kaum cerdik pandai, ada Haman. Konglomerat ada Qorun. Dirinya sendiri adalah penguasa. Di hadapannya ada Musa.

“Musa ini simbol perlawanan sampai di titik yang tampaknya sudah no hope, sudah sangat lemah. Ketika dia sudah berhadapan dengan Laut Merah itu kan sudah zero hope. Itu kalau dalam konteks ikhtiar manusia. Mau ke mana? Mau bablas tenggelam, mundur makin dekat dengan Fir’aun. Tapi Musa tidak pernah bergeser dari jalan kebenaran. Dia tidak pernah berubah menjadi bagian dari Fir’aun. Dia tetap menjadi bagian dari perlawanan terhadap Fir’aun,” jelasnya.

“Saya kira itu penting. Sepanjang ada Musa, masih ada cara Fir’aun binasa. Ternyata betul, Laut Merah membelah, menjadi jalan keselamatan buat Musa, sekaligus jalan kematian buat Firaun,” tambahnya.

Oleh karena itu, menurutnya, sangat penting mengungkap kebenaran, di celah-celah yang meskipun sangat sempit. Sampai pada satu titik yakni kekuatan perlawanan itu semakin hari semakin besar. “Bendungan itu jebol bukan karena lubang yang besar, awalnya lubang kecil. Lubang kecil itu yang membuka peluang untuk jebolnya bendungan. Nah lubang kecil itulah yang harus terus diikhtiarkan,” tamsilnya.

UIY menegaskan, inilah amar makruf nahi mungkar. Ini tugas yang sangat mulia. Karena sepanjang ada amar makruf nahi mungkar, ada peluang yang makruf tegak, yang mungkar akan tumbang. Begitu amar makruf nahi mungkar berhenti maka yang terjadi amar mungkar nahi makruf.

“Kalau ini yang terjadi dan itu tidak boleh, karena akan mencelakakan kita semua, bukan hanya mereka yang zalim tapi kita yang tidak zalim pun akan celaka. Saya kira di situ pentingnya spirit amar makruf nahi mungkar,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: