Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) menilai perdebatan soal boleh tidaknya menikah beda agama bukan persoalan debat fikih.
“Ini bukan persoalan debat fikih, karena tadi secara fikih sudah dijelaskan secara gamblang bahwa tidak ada perbedaan di antara para ulama mazhab tentang haramnya seorang Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim baik ahli kitab maupun musyrik,” tuturnya dalam acara Fokus Live Streaming: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan, Ahad (27/3/2022) melalui kanal YouTube UIY Official.
Menurut UIY, sudah demikian jelas ketentuan hukumnya. Begitu juga ketentuan hukum perkawinan. “Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya,” bebernya.
“Artinya, menurut agama, perempuan Muslimah itu tidak boleh menikah dengan beda agama. Kalau itu tidak boleh maka undang-undang perkawinan mengatakan ini tidak sah. Begitu juga dalam pasal 8 huruf f undang-undang perkawinan itu disebutkan bahwa perkawinan dilarang jika aturan agama melarang,” tambahnya.
UIY mengatakan, undang-undang perkawinan itu sudah connected dengan agama atau berusaha untuk mengoneksikan dengan ketentuan agama. Dia (UU perkawinan) tidak masuk ke dalam materi agama tetapi me-refer (merujuk) pada ketentuan agama dengan mengatakan bahwa kalau agama melarang, perkawinan itu juga dilarang.
“Kalau ketentuan undang-undangnya sudah sangat jelas, lalu kenapa pernikahan beda agama ini tetap dilakukan? Bahkan menurut saya ini sangat serius ketika presiden hadir dalam pernikahan itu. Artinya ada endorsment dari penguasa negeri ini,” herannya.
UIY mencoba menganalisis dengan mengaitkan pernyataan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi dalam acara training for trainers ulama dan pimpinan pondok pesantren se-Indonesia, di pesantren yang diasuhnya, tahun 2011. Hasyim Muzadi mengatakan bahwa saat ini sedang terjadi liberalisasi agama yang menyasar dua ormas besar NU dan Muhammadiyah. Dia katakan secara makro liberalisasi ini dilakukan bersamaan dengan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik.
“Saya kira ini hari terjadi. Liberalisasi ekonomi terus menuju sempurna sebagaimana yang kita lihat pada Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Ciptaker. Undang-undang ini yang menjadi bonggolnya. Karena UU Ciptaker ini kan meringkas 80 sampai 90 undang-undang yang utamanya berkaitan dengan investasi,” jelasnya.
Liberalisasi politik, lanjutnya, ini juga sudah mendekati sempurna ketika politik itu sudah hampir-hampir tidak lagi mendasari kepada etika moralitas tapi lebih pada kekuatan modal. Jadi oligarki ini berkuasa di atas tatanan ekonomi dan juga tatanan politik.
“Nah tinggal satu yang belum atau sedang menuju kepada ‘kesempurnaan’ yaitu liberalisasi agama. Ini saya kira kalau ditambah dengan fenomena kemusyrikan yang menjadi judul dari acara kita ini harus diwaspadai sebagai bagian dari liberalisasi agama yang disebut oleh Kiai Hasyim Muzadi tahun 2011 itu,” terangnya.
UIY menilai, liberalisasi agama tidak lagi menjadi fenomena pinggiran, orang per orang, tapi sudah masuk ke level negara. Ini dibuktikan dengan dua peristiwa penting. Pertama, nikahnya staf khusus presiden yang dihadiri oleh presiden. Kedua, fenomena kemusyrikan yang dilakukan di dalam event internasional yang di situ pelakunya itu dibayar oleh negara dan disaksikan oleh sejumlah menteri dan juga presiden.
Yang dimaksud liberalisasi agama, menurut UIY adalah ignore terhadap agama atau abai terhadap agama. Ketentuan agama itu hendak dihilangkan, hendak ditabrak. “Kalau bahasa gampangnya agama itu sudah enggak penting,” jelasnya.
“Di saat yang sama mereka yang berusaha untuk mengingatkan betapa pentingnya ketentuan agama itu dicap dengan aneka macam sebutan, radikal, garis keras dan seterusnya. Sementara di sisi lain, ketentuan agama itu hendak dientengkan, di-ignore-kan,” imbuhnya.
Ia menilai, liberalisasi agama ini sedang berjalan. Karena itu liberalisasi agama ini harus mendapatkan perhatian sangat penting terutama oleh ormas besar yang tadi disebut oleh Kiai Haji Hasyim Muzadi.
“Kalau sampai satu saja dari ormas itu juga memberikan endorse terhadap gejala-gejala liberalisasi agama maka proses liberalisasi agama akan semakin mulus. Dan pada titik tertentu aturan agama akan digusur terutama dalam kaitannya dengan perkawinan,” tandasnya.
UIY menegaskan, perkawinan itu akan berdampak kepada keluarga. Sementara keluarga adalah unit yang pertama dan utama di dalam pembentukan generasi, syaksiyah, kader-kader pejuang.
“Kalau kita bicara tentang baiknya sebuah negara itu juga dimulai dari keluarga. Keluarga unit paling penting pertama dan utama dalam pendidikan anak. Kalau keluarga rusak atau ada yang merusak maka sesungguhnya sedang merusak tempat bersemainya generasi,” nilainya.
Jadi, kalau bapak ibunya itu sudah ignore terhadap ketentuan agama, lanjutnya, maka bisa dibayangkan pasti juga ignore, abai terhadap ketentuan agama bagi anaknya.
“Kebayang oleh kita akan lahir generasi yang juga ignore terhadap agama. Ini yang menjadi gejala umum di dunia Islam. Oleh karena itu, kita harus waspada, sangat waspada terhadap gejala-gejala ini,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun