Mediaumat.id – Seperti banyak pihak menyebutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) juga dinilai Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) tak lebih dari penjaga kepentingan keluarga (the guardian of the family).
“(MK) ini hari tak lebih dari the guardian of the family,” ujarnya dalam Fokus: Kontroversi Putusan MK, Ahad (22/10/2023) di kanal YouTube UIY Official.
Pasalnya, putusan yang mengabulkan gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres mengenai batas usia minimal, disinyalir sarat kepentingan dengan boleh tidaknya Gibran Rakabuming Raka (36), keponakan dari Ketua MK Anwar Usman, bisa maju di Pilpres 2024.
Diberitakan sebelumnya, ketentuan MK terkait syarat capres-cawapres mengenai batas usia minimal itu berubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Tak ayal, kata UIY sekali lagi, anggapan publik seputar Mahkamah Konstitusi telah berubah menjadi mahkamah keluarga pun tak terbantahkan.
“Saya kira ini tak terbantahkan oleh siapa pun bahwa ada kepentingan keluarga yang sangat nyata di balik itu,” tegasnya lagi.
Watak Demokrasi
Menurutnya, masyarakat tak akan mungkin bisa mengharapkan konsistensi suatu ketentuan hukum dari sebuah sistem demokrasi. “Kalau kita mengharapkan konsistensi dari sebuah sistem demokrasi, itu seperti pungguk merindukan bulan, enggak akan mungkin,” sebutnya.
Dengan kata lain, watak dari sistem demokrasi bisa dilihat salah satunya dari apa yang dipertontonkan oleh MK tersebut. Sebutlah idealistis sebagaimana orang bilang bahwa melalui demokrasi, kedaulatan rakyat bakal mendapatkan tempat yang terhormat, menurut UIY, itu hanya teori.
Lebih jauh, jelas UIY, hal ini semacam melengkapi apa yang disebut sebagai kekacauan hukum sebelumnya. Semisal, berdalih karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan permasalahan dan kebutuhan hukum dalam urusan minerba, lantas dibuatlah UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Padahal, ketika dibuat, UU 4/2009 digadang-gadang sesuai dengan falsafah negeri ini. “Mana yang benar? Mana yang sesuai dengan konstitusi negara, asas negara, dasar negara, mana?” tanyanya, prihatin.
Maksudnya, bagaimana bisa ratusan ribu hektare ladang batu bara yang terhampar di bumi Indonesia dikuasai oleh 7 perusahaan pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara), misalnya, secara eksplisit dikatakan di dalam UU Minerba 2020 otomatis mendapatkan kepastian perpanjangan konsesi?
Sementara, sebelumnya, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba secara eksplisit harus dikembalikan ke negara ketika habis masa kontraknya.
“Perubahan Undang-Undang Minerba, dari sebelumya tidak boleh diperpanjang menjadi boleh diperpanjang. (Diubah) 180 derajat,” herannya, menyinggung Pasal 169A ayat (1) huruf a dan Pasal 169A ayat (1) huruf b UU Minerba.
Bertambah celaka, sebagaimana masih termaktub di UU perubahan tersebut, durasi kepastian perpanjangannya hingga 2 kali 10 tahun dengan opsi 2 kali 10 tahun lagi.
Sama halnya dengan Omnibus Law Cipta Kerja. “Semula sudah dikatakan inkonstitusional (bersyarat), tapi kemudian dibuatkan perppunya dan sah, lalu gugatannya ditolak,” sambungnya.
Bahkan di negara lain, yaitu Amerika Serikat (AS) yang sekaligus sebagai gembongnya demokrasi, juga sama. “Di Amerika misalnya, LGBT yang dulu itu ditentang sangat keras, ini hari menjadi sah,” ungkapnya masih tentang perubahan UU secara 180 derajat.
Malahan, bukan hanya sah, tetapi harus dilindungi UU. “Siapa yang menentangnya (LGBT), kemudian sekarang menjadi salah,” terangnya, dengan nada khawatir hal ini akan terjadi juga di Indonesia.
Hidup Tanpa Aturan
Tak ayal, UIY pun mengatakan bahwa sesungguhnya di saat suatu aturan berubah-ubah, sama halnya manusia hidup tanpa aturan.
Padahal, suatu peraturan, menurut UIY, berfungsi sebagai batasan pencegah keinginan seseorang agar tak bertentangan dengan aturan dimaksud.
Makanya, kata UIY menuturkan, apabila umat menginginkan sebuah kepastian, tidak ada jalan lain kecuali kembali pada aturan yang berasal dari sumber yang persisten dan konsisten, Dialah Allah SWT.
“Kalau dia haram, selamanya dia akan haram. Kalau halal, dia halal. Dan dengan begitu maka kita akan mendapat kepastian dari sebuah ketentuan hukum,” jelasnya.
Apalagi, kepastian suatu hukum sangatlah penting bagi kebaikan sebuah masyarakat, bahkan negara. “Kepastian itu sangat penting bagi kebaikan sebuah masyarakat dan negara,” terangnya.
Karena itu pula, penting bagi umat untuk senantiasa menyerukan tentang penegakan syariah dan khilafah, yang tanpa itu, masyarakat bakal menghadapi kekacauan. “Tanpa itu kita akan menghadapi kekacauan seperti ini hari,” pungkasnya.[] Zainul Krian