UIY: Mengharap Perbaikan Tidak Cukup Hanya Melalui Pergantian Pemimpin
Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai mengharapkan perbaikan di negeri Indonesia ini tidak cukup melalui pergantian presiden.
“Sampainya kita kepada presiden yang kesekian ini hari dengan kenyataan bahwa persoalan yang kita hadapi itu tak kunjung bisa kita atasi sebutlah misalnya soal korupsi dan segala macam, itu menunjukkan bahwa ketika kita mengharap sebuah kebaikan itu tidaklah cukup melalui pergantian pemimpin atau kepemimpinan,” ujarnya dalam Focus to The Point: Negara Kita Butuh Perubahan Level 3, Selasa (3/9/2024) di kanal YouTube UIY Official.
UIY mengingat, dulu ketika reformasi terjadi orang berharap bahwa dengan turunnya Pak Harto Orde Baru, lalu berganti dengan rezim reformasi itu ada perubahan ke arah yang diharapkan, tapi ternyata setelah sekian lama dan dengan sekian presiden yang menjadi harapan itu tidak terpenuhi.
“Misalnya, korupsi baik dari sisi pelakunya maupun volumenya gitu kalau dulu itu hanya mungkin puluhan atau ratusan miliar sekarang bisa sampai puluhan triliun bahkan ratusan triliun, itu menunjukkan bahwa kita ternyata memang benar tidak hanya cukup perubahan level kedua perubahan politik bergantinya rezim dan kepemimpinan apalagi sekadar perubahan teknis ekonomi,” ujarnya.
Makanya, tutur UIY, harus membuka pikiran untuk melihat satu level lagi perubahan yakni perubahan ideologis.
“Perubahan ideologis itu adalah perubahan yang tidak hanya mencakup sekadar perubahan teknis ekonomi dan perubahan politik (kepemimpinan), tapi lebih daripada itu yaitu perubahan-perubahan yang menyangkut fundamen dari tatanan sebuah masyarakat dan negara,” tuturnya.
Penting
UIY juga membeberkan pentingnya perubahan yang bukan sekadar ideologi saja melainkan ideologi yang berbasis Islam.
“Di dalam Al-Qur’an itu ada satu ayat yang mengajari kita untuk membaca secara mendalam apa yang terjadi di tengah masyarakat kita di dalam surah ar-Rum ayat 21,” ujarnya.
Di dalam ayat tersebut, UIY kutip yang artinya, “Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia.”
“Kerusakan apa itu? Kerusakan ekonomi, kemudian ketimpangan, kesenjangan, kemiskinan, berbagai macam termasuk korupsi dan sebagainya, kerusakan politik seperti yang ini hari terjadi, kerusakan moral, kerusakan termasuk juga mungkin kerusakan lingkungan. Kenapa itu terjadi? Nah, itu Al-Quran mengajarkan karena tangan manusia,” ungkapnya.
Tafsir frasa bima kasabat aidinnas (oleh karena tangan-tangan manusia), kata UIY, mengutip perkataan Syekh Muhammad Ali dalam kitab Shawatut Tafasir adalah bisababim maasinas wunubihim (karena kemaksiatan atau dosa-dosa manusia).
“Apa itu maksiat? Maksiat adalah setiap pelanggaran terhadap syariah, melakukan yang haram, meninggalkan yang wajib, itu maksiat, dan setiap maksiat itu pasti akan menimbulkan fasad atau kerusakan,” ungkapnya.
Adapun seberapa besar kerusakan itu, kata UIY, tergantung seberapa besar kemaksiatan yang dilakukan.
“Nah ini hari kita melihat kalau kita bicara tentang meninggalkan yang wajib melakukan yang haram, kemaksiatan itu, ada dilakukan di level personal maupun komunal. Personal, misalnya, orang tidak salat itu maksiat yang wajib orang tidak mau membayar zakat, padahal dia sudah mampu itu maksiat, orang minum-minuman keras itu pasti menimbulkan fasad,” tuturnya.
Tapi, lanjutnya, fasad di level individu atau personal itu hanya akan kena kepada level individu, sementara kemaksiatan ada juga kemaksiatan komunal atau kemaksiatan struktural seperti ekonomi kapitalis, politik machiavelis, sikap beragama yang sinkretis, lalu budaya yang westernis itu pasti menimbulkan fasad dan fasadnya juga kena kepada seluruh masyarakat.
“Jadi dampaknya itu juga terstruktur gitu, nah itulah yang kita sebut tadi itu itu mesti mengkaitkan dengan akidah dan syariah gitu, satu syariah tadi pelanggaran terhadap syariah bahwa itu timbul fasad dan faktanya seperti itu, itu berdasar pada keyakinan bahwa apa yang ditetapkan oleh Allah itu pasti baik dan apa yang dilanggar pasti akan menimbulkan keburukan seperti yang Allah sampaikan sendiri, barang siapa yang mengikuti petunjuk maka dia pasti tidak akan sesat dan tidak akan celaka, dengan kata lain kalau tidak mengikuti petunjuk Allah pasti akan sesat dan pasti akan celaka, ini kan akidah sedangkan mengikuti petunjuk itu mengikuti ketentuan syariah,” tegasnya.
Kerangka berpikir seperti ini, kata UIY, yang mestinya dipakai oleh umat. Dengan kerangka ini kemudian umat terdorong melakukan perubahan.
“Jadi, tidak hanya berhenti kepada perubahan politik apalagi sekedar perubahan teknis ekonomi,” bebernya.
Selesai
UIY menafikan perkataan yang mengatakan bahwa persoalan ideologi itu sudah selesai, padahal di sisi lain persoalan yang dihadapi saat ini adalah persoalan ideologi dengan bukti sampai saat ini masih menggunakan sistem sekuler kapitalistik.
“Siapa bilang bahwa ideologi itu selesai? Kalau selesai, mestinya setiap kali ada persoalan, ada tuntutan untuk penerapan syariah dengan mudah diterima,” bebernya.
Menurut UIY, ketika penerapan syariah ditolak, pasti ada persoalan ideologi. Kenapa ditolak? Karena menganggap bahwa Islam ini tidak sesuai atau tidak cocok dengan sistem yang ada dan ideologi yang ada sekarang yaitu sekulerisme dan kapitalisme.
“Banyaknya masalah yang belum terselesaikan itu menunjuk ada persoalan ideologi, persoalan ideologi karena ternyata kan enggak ketemu ujung pangkalnya gitu, kita bilang bahwa ekonomi ini pasti akan menimbulkan kesenjangan, kenapa? Karena kapitalis itu memang wataknya pasti akan menimbulkan kesenjangan, ketika kita bilang bahwa kapitalis ini menimbulkan kesenjangan, pasti orang enggak terima, sudahlah enggak usah ngomong soal kapitalis ini berarti kan soal ideologi,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat