UIY: Ketaatan Haji Berhenti di Manasiknya?

Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengkhawatirkan, ketaatan para jamaah haji selama ini berhenti di tempat pelaksanaan manasiknya saja.

“Kita sangat khawatir bahwa ibadah haji khususnya, itu hanya berhenti ketaatan itu pada manasik haji di tempat haji,” ujarnya dalam Fokus: Haji, Ketaatan, Pengorbanan dan Perjuangan, Ahad (10/7/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Dengan kata lain, dari setiap rukun, wajib maupun sunah haji, tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa di dalam kehidupan sehari-hari ketika kembali ke tanah air masing-masing. “Hanya, mungkin tambah titel hajinya saja,” tukasnya.

Padahal dari seluruh rangkaian ibadah haji semestinya bisa memberikan dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Baik pribadi, keluarga, terlebih dalam kehidupan masyarakat dan negara, “Tetapi dia hanya berhenti pada aspek ritualisme saja,” sayangnya.

Padahal pula, terangnya, ibadah haji sebenarnya membawa pesan yang luar biasa. Yakni tauhid, atau kesadaran menjadi hamba yang harus sepenuhnya taat kepada Allah SWT.

Artinya, mewujud dengan takwa yang sebenarnya. “Takwa itu melakukan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang dilarang. Semestinya itu!” tuturnya, dengan mengatakan semua rangkaian manasik ibadah haji adalah simbolisasi dari tauhid dimaksud.

Sebutlah ketika melempar jumrah yang menurut UIY, sebagai simbolisasi perlawanan terhadap setan. Sehingga pasca-kembali ke tanah air, semestinya melanjutkan perlawanan terhadap musuh manusia yang nyata tersebut.

“Bukan kemudian menjadi kawan apalagi menjadi hamba setan,” sambungnya sembari menyayangkan, hal itulah yang justru terjadi saat ini.

Tengoklah, mereka-mereka yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menurut UIY ada yang bergelar haji, dan tidak sedikit yang memakai nama Muhammad, misalnya.

Malah sebagaimana diketahui, ternyata juga sudah berulang kali terjadi korupsi dana haji berikut para pejabat, atau bahkan termasuk menteri yang mengurusi haji masuk penjara.

“Ini ironi besar,” ucapnya, seraya menyampaikan bahwa problemnya terletak pada suatu ibadah yang menjadi ritualisme saja.

“Bukan hanya ibadah haji tetapi juga shalat, kemudian puasa,” tambahnya.

Lantaran itu, penting untuk menyadarkan umat terutama jemaah haji tentang bagaimana sebuah ibadah mampu memberikan pengaruh yang nyata terhadap kehidupan sehari-hari.

Walau, perintah Allah tampak tidak masuk akal sekalipun. Seperti perintah kepada Nabi Ibrahim as ketika meninggalkan Siti Hajar dan Ismail kecil di tempat yang tidak ada sesuatu pun di sana.

“Pengorbanan yang sekilas itu tampak merugikan, tetapi mereka yakin bahwa sebagaimana keyakinan Siti Hajar bahwa Allah tidak akan mungkin menyia-nyiakan mereka,” ulasnya.

Atau perintah lain agar Nabi Ibrahim as menyembelih putra kesayangannya. “Pada akhirnya sejarah kemudian mencatat pada titik yang sangat menentukan ketika pisau tajam hendak menggores kulit putih leher ismail, Allah menggantikannya dengan sembelihan yang besar,” urainya.

“Inilah ketaatan yang luar biasa. Ketaatan kepada Allah meskipun sekilas perintah itu tampak tidak masuk akal, atau bahkan tampak sangat kejam,” tegasnya.

Haji Mabrur

Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, sambung UIY, beliau mendefinisikan makna dari haji mabrur. “Yaitu ketika orang kembali dari ibadah haji, dia lebih baik dari waktu sebelumnya, kemudian dia tidak mengulangi kemaksiatan. Itu tanda dari kemabruran atau kemakbulan haji,” ucapnya mengutip kitab Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, Juz. V, hlm. 112.

Lantas, tuturnya, untuk bisa mengembalikan makna ibadah haji dalam konteks perjuangan umat Islam di Indonesia saat ini, sebenarnya sangat dipengaruhi pemahaman jemaah haji itu sendiri terhadap substansi, pesan dari ibadah tersebut, yaitu menauhidkan Allah SWT.

“Ketika dia melihat ketaatan itu tidak ada pada dirinya, dia berubah, dia mengubah dirinya untuk menjadi taat,” terangnya.

Tak hanya itu, tatkala juga melihat ada ketidaktaatan pada keluarganya, dia akan berusaha mengubah menjadi keluarga yang taat kepada Allah SWT.

Begitu pun dalam lingkup bernegara yang menuntut upaya sama agar menjadi bangsa dan negara yang taat pula.

“Apalagi kemudian dia meyakini bahwa itulah satu-satunya jalan untuk bisa mendapatkan keberkahan sebagaimana Allah janjikan,” jelasnya yang kemudian menukil QS al-A’raf ayat 96, yang artinya:

‘Kalau penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Allah turunkan keberkatan dari langit dan dari bumi.’

Meski demikian, pemahaman tentang tauhid pun tergantung pada semangat dari para pembimbing hajinya. “Para pembimbing ini harus bisa menanamkan spirit perjuangan yang bertumpu atau yang muncul dari pemahaman tauhid tadi,” tuturnya.

Namun kalaupun saat ini semangat yang tampak dari para pembimbing sekadar untuk perbaikan keluarga misalnya, mestinya didorong satu step lagi untuk perbaikan bangsa dan negara.

Oleh karena itu, UIY menekankan pentingnya menentukan kerangka politik oleh pemerintah. Khususnya dalam mengorganisasi para jemaah haji.

Pasalnya, apabila kerangka politik dimaksud sekadar services atau layanan saja, sekali lagi hanya akan berhenti pada aspek ritualisme.

Sebaliknya jika di sana ada pembinaan lebih, pemerintah bisa memanfaatkan momen haji sebagai wadah pembentukan sumber daya manusia yang unggul.

“Manusia pilihan (jemaah haji) ini kalau dibina dengan jiwa tauhid luar biasa ini akan menjadi potensi sumber daya manusia yang sangat penting bagi perbaikan bangsa dan negara ke depan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: