UIY: Kebiasaan Impor Jadikan Negara Tak Mandiri

Mediaumat.info – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menegaskan, suatu negara yang memiliki kebiasaan impor tak akan bisa mencapai kemandirian.

“Ketika kita berbicara tentang kemandirian, kemandirian pangan, kemandirian barang-barang konsumsi, itu takkan pernah dicapai jika terus-menerus impor,” ujarnya dalam Focus to The Point: Sritex Bangkrut, Sekedar Persoalan Serbuan Produk China? di kanal YouTube UIY Official, Jumat (1/11/2024).

Adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex, salah satu industri tekstil besar di Indonesia, yang menurut UIY, merupakan korban kesekian kalinya dari kebijakan importasi yang ugal-ugalan.

Seperti diketahui, Pengadilan Niaga Kota Semarang memutus pailit dengan segala akibat hukumnya atas Sritex, setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut yang meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang sudah ada kesepakatan sebelumnya.

Lebih lanjut, penegasan UIY pernah diutarakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastratmaja, yang juga menilai pailitnya Sritex tak lepas dari serbuan produk Cina. Hal itu, kata dia, sebagaimana diberitakan bisnis.tempo.co (24/10/2024), sangat memengaruhi kondisi industri tekstil di Indonesia.

Bahkan sebelum Sritex, sebagaimana dilansir beritasatu.com (30/92023), para pengusaha tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung, menghadapi tantangan besar dalam menjalankan bisnis mereka. Seolah hidup segan mati pun tak mau, mereka terpaksa beradaptasi dengan situasi yang sulit akibat tingginya impor bahan dan produk tekstil dari luar negeri dengan harga yang lebih murah.

Sekadar ditambahkan, ketergantungan impor negeri ini tak hanya pada produk tekstil, tetapi alas kaki hingga pakaian jadi; mainan anak-anak, furnitur hingga otomotif; maupun produk hasil pertanian seperti buah-buahan sampai bawang merah dan bawang putih, pun didatangkan dari Cina.

Makanya, UIY menyebut sistem perdagangan negara ini tengah dikendalikan oleh bukan industriawan, yang sembari berniaga tetapi sebisa mungkin melindungi keberlangsungan industri dalam negeri bahkan bermitra dengan negara untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja lokal.

Namun, alih-alih menghindari pemufakatan jahat dengan pengusaha, penguasa justru terkesan tanpa pertimbangan terlebih dahulu terkait perlu tidaknya mendatangkan suatu produk dari luar negeri, memberikan kebebasan, dalam hal ini perizinan impor.

Bahaya

“Ini sangat berbahaya karena ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang penting dari sebuah negara yaitu siyasah ad-dunya bi ad-din,” lanjut UIY, yang berarti mengatur dunia dengan agama.

Menurutnya, perkara ini penting, sebab ketika sudah sepenuhnya bergantung impor, secara tidak langsung telah membuka celah bagi negara importir untuk mendikte negeri ini sesuai kepentingan mereka.

“Kita butuh makanan lalu kita impor dan (negara) yang mau kita tuju untuk impor itu enggak mau. Apa yang terjadi? Oh, (kita) bisa kekurangan pangan,” ucapnya, memisalkan.

“Nah kemudian mereka bisa mendikte, ‘Saya mau ekspor ke negara Anda tapi pejabat ini, pejabat ini, jangan lagi berkuasa’, segala macam,” sambungnya.

Karena itu, penting bagi negara terutama di dalam urusan mengatur kehidupan rakyat harus menggunakan aturan-aturan yang senantiasa berpihak kepada kepentingan rakyat pada umumnya, bukan para pedagang yang semata mencari keuntungan.

Apalagi jika orientasinya KKN atau persekutuan jahat antara penguasa dengan pengusaha sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak serius mengurusi urusan rakyat.

“Persoalan itu justru ada di kebijakan negara yang tidak serius dan juga para pejabatnya ini yang bermasalah,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: