Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyampaikan bahwa kebangkitan Islam ini menjadi ancaman Barat.
“Islam ini menjadi ancaman Barat, bahwa Islam itu setelah kemunduran yang sangat panjang selepas runtuhnya payung dunia Islam pada tahun 1924 itu, dia (Islam) akan bangkit kembali ada semacam purifikasi atau pemurnian dan mereka tahu itu,” ujarnya dalam acara diskusi Isu Moderasi Diangkat di Tengah Korupsi Meningkat dan Kedaulatan Disikat (Cina), Senin (4/9/2023) di kanal YouTube Media Umat.
Ketika Islam sudah menjadi ancaman, jelas UIY, tentu Barat tidak tinggal diam dan bergerak agar tidak menjadi ancaman, caranya adalah dunia Islam harus dibuat ramah.
“Ramah terhadap apa? Terhadap Baratlah intinya, terhadap demokrasi dan modernitas, dan bagaimana dibuat supaya tunduk kepada aturan-aturan internasional, karena itu kemudian diperlukan moderasi Islam,” ucapnya.
Mereka (Barat), lanjutnya, melakukan pemetaan-pemetaan terhadap umat Islam. “Pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa yang bisa dijadikan kawan dan siapa yang memang menjadi lawan dari Barat,” tuturnya.
Mengutip dari dokumen yang berjudul Building Moderate Moslem Network dan Civil Democratic Islam, UIY menyampaikan, umat Islam itu bisa dibelah menjadi empat.
Pertama, kelompok fundamentalis. Kedua, tradisionalis. Ketiga, sekuleris. Keempat modernis. “Barat merekomendasikan untuk merangkul tiga yang terakhir tadi tradisionalis, sekularis, dan modernis,” bebernya.
Menurut mereka (Barat) di Indonesia, ungkapnya, berfokus pada tradisionalis dan modernis, karena sekuleris ini bagi mereka (Barat) malah justru akan membangkitkan sentimen bukan hanya kaum fundamentalis tapi juga tradisionalis dan modernis.
“Kalau sekarang di Indonesia. Ini pengalaman ketika mereka itu salah mendukung JIL (Jaringan Islam Liberal). Karena itulah, kemudian itu dikoreksi; jadi dihentikan pendanaannya karena ternyata setelah dia dukung JIL itu alih-alih tujuan mereka bisa tercapai yang terjadi justru penguatan terhadap kelompok fundamentalis,” ungkapnya.
Mereka (Barat) ucapnya, mengindetifikasikan kelompok tradisionalis adalah Nadhatul Ulama (NU) dan modernis (Muhammadiyah) untuk melawan fundamentalis.
“Kaum fundamentalis itu dalam kategori mereka (Barat) itu yang dimaksud sebagai kelompok fundamentalis adalah kelompok yang menolak nilai-nilai Barat, sekularisme, liberalisme kapitalisme. Jadi bagaimana mereka yang menolak itu, itu dianggap sebagai kemudian menginginkan penerapan syariat Islam itu sebagai jalan hidup ini fundamentalis,” lanjutnya.
War on Islam
Jadi, menurut UIY, agenda ini (pengelompokan) tidak bisa dilepaskan dari konteks global atau setting global. “Ini memang link up dengan konteks global ini, war on radicalism lanjutan dari war on terrorism itu war on Islam. Karena kalau betul bahwa war on terrorism itu memerangi orang atau kelompok melawan negara yang dalam tujuannya menggunakan kekerasan, mestinya semua orang atau kelompok warga negara yang menggunakan kekerasan itu dianggap teroris,” tuturnya.
Faktanya mengutip dari FTO (Foreign Terrorist Organizations) lanjutnya, lebih dari 96%-97% itu orang dan kelompok Islam. “Misalnya ada Hamas (Al-Harakatul Muqawwamatul Islamiyyah) ada Syekh Ahmad Yasin itu kan dinomor satukan, dianggap sebagai teroris. Apa yang dia lakukan? Dia berjuang untuk mengembalikan hak milik mereka, tanah Palestina dari penjajahan Israel. Bagaimana bisa orang berjuang mendapatkan hak dan merebut haknya kembali disebut teroris? Sementara yang merebut hak orang lain tidak disebut apa-apa, jadi jelas bahwa war on terrorism itu war on Islam,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, bila kelompok Islam tidak bisa dikaitkan dengan war on terrorism, maka akan dikaitkan dengan isu kekerasan. “Kalau masih menggunakan isu kekerasan tidak bisa diraih, maka kemudian dikembangkan menjadi war on radicalism dan kedua-duanya tidak bisa ditutupi ini adalah war on Islam, itu konteks globalnya,” ucapnya.
Kepentingan Global
war on radicalism di Indonesia, menurut UIY, digunakan untuk kepentingan Barat dan Cina yakni menyingkirkan kelompok kritis.
“Karena kelompok yang yang saya kira potensial bisa head to head dengan kekuasaan itu sebagaimana ditunjukkan dalam aksi 212 itu adalah kelompok Islam, bukan sembarang Islam tapi Islam yang politis, Islam yang ideologis. Nah, kelompok ini harus disingkirkan kelompok ini harus dimatikan, harus dibonsaikan, harus dilemahkan,” ucapnya.
Karena kalau tidak, ungkap UIY, maka akan menjadi bibit yang sangat membahayakan kekuasaan. “Karena mereka tahu bahwa ini sudah masuk di berbagai lini-lini kekuasaan ada di lembaga di departemen segala macam yang dianggap sebagai orang-orang yang berpikiran ideologis atau politis Islam tadi itu. Nah, lalu dilakukanlah program modernisasi,” tuturnya.
Berkaca dari kalah di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 dan fenomena 212, beber UIY, barulah digaungkan isu perang radikalisme dan modernisasi. “Karena itu program modernisasi itu pasti akan terus berjalan sepanjang di situ ada budget-nya itu sama seperti halnya program pemberantasan teroris,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi