Mediaumat.id – Membahas suatu proses penegakan hukum, Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyampaikan, bahwa keadilan hanya bisa terwujud melalui prosedur yang baik. “Adil itu, itu juga menyangkut prosedur,” tuturnya dalam Perspektif PKAD: Faizal A: Mahfudz MD Galak Bubarin HTI & FPI, Loyo Tindak Lukas Enembe, Rabu (21/9/2022) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Tengoklah penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe. Meski telah ditetapkan menjadi tersangka dan dilakukan pemanggilan pada 12 September 2022 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politikus Partai Demokrat itu belum juga ditahan.
“Kan disebut-sebut bukan soal satu miliar (rupiah). Tetapi soal bahwa ada aliran dana sampai lebih dari 500 miliar disebut-sebut ke kasino segala macam itu sampai KPK terakhir saya membaca kan, begini saja Pak Lukas tolong jelaskan itu duit dari mana maka kita bisa hentikan perkara,” ulasnya.
Disebutkan, penetapan tersangka yang dilakukan KPK sudah menyangkut tiga kepala daerah, Bupati Mimika, Bupati Mamberamo Tengah, dan Gubernur LE (Lukas Enembe) sebagai tindak lanjut dari informasi masyarakat.
Sayangnya, KPK belum mengumumkan secara resmi konstruksi perkara yang menjerat Lukas Enembe. Sebab, sekali lagi lembaga anti rasuah tersebut belum melakukan proses penjemputan paksa, terlebih penahanan terhadap tersangka.
“Karena itu saya kira publik berhak untuk tahu,” sambung UIY. Apalagi menyangkut pejabat tertinggi level provinsi yang notabene berada pada pusaran politik yang menurutnya sangat sensitif.
Malah seperti diberitakan, seorang Menkopolhukam saja sampai turun tangan memberikan penjelasan terkait situasi di Papua saat ini yang tengah memanas gegara kasus tersebut.
“Kita tahu Papua akan selalu begitu. Semakin gamblang, semakin jelas itu akan semakin merongrong keadaan. Karena itu menurut saya dibeberkan saja di mana letak masalahnya,” imbau UIY menambahkan.
Artinya, lanjut UIY, apabila menuduh seseorang telah melakukan korupsi, mestinya pula mengatakan di mana letak korupsinya.
Ia menjelaskan bahwa prinsip keadilan memang mengharuskan pihak penuduh membuktikan tuduhannya tidak keliru. “Prinsip keadilan itu kan orang menuduh yang penuduh itu yang harus membuktikan,” ujarnya.
Tetapi sayangnya, yang terjadi saat ini tidak demikian. “Ini hari saya kira prosedur-prosedur itu, itu bisa dilihat itu ada tabrak-tabrak sedemikan sehingga akhirnya ketidakadilan itu menjadi tampak dari awal begitu rupa,” ulasnya, seraya membandingkan penanganan kasus korupsi Lukas Enembe yang tidak segarang ketika pencabutan badan hukum perkumpulan (BHP) dari sebuah ormas Islam melalui Perppu 2/2017 lima tahun lalu.
Di sisi lain, sambungnya, Nabi SAW pun mengatakan seorang hakim pengadilan tidak boleh mengambil keputusan dalam keadaan marah. ‘Seorang hakim dilarang memutuskan (perkara putusan) antara dua orang ketika marah’ (HR Bukhari).
Maksudnya, selain prosedur, kondisi psikologis pengambil keputusan harusnya diperhatikan juga. “Mengapa? Karena jika marah, bukan hanya prosedur itu, kondisi psikologis, engkau bisa mengambil keputusan dengan tidak benar,” tuturnya.
Faktor Terwujudnya Keadilan
Menurutnya, keadilan juga bisa terwujud apabila hukum dan orang yang menegakkannya terkategori adil.
Sebutlah UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Penting diketahui, di dalam UU Nomor 3 Tahun 2020, termaktub ketentuan yang menyebutkan, bahwa perusahaan yang akan segera habis kontrak pertambangannya bisa mengajukan perpanjangan Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B).
Padahal sebelum diubah, di UU Nomor 4 Tahun 2009 ditegaskan, perusahaan pertambangan yang habis masa konsesinya mengembalikan penguasaan dan pengelolaan kepada negara dalam hal ini prioritas BUMN dan BUMD.
Dampaknya, sebagaimana dipaparkan oleh Dirjen Mineral dan Batu Bara ESDM Bambang Gatot Ariyono dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada Kamis (28/11/2019) silam, UU perubahan tersebut semacam mempersilakan 7 perusahaan swasta pemegang PKP2B yang akan segera habis kontrak pertambangannya kala itu.
Di antaranya, PT Arutmin Indonesia yang merupakan entitas anak dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI), emiten raksasa tambang milik Grup Bakrie yang habis 1 November 2020. Selanjutnya PT Kendilo Coal Indonesia yang habis 13 September 2021, PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang habis 31 Desember 2021.
Ada pula PT Multi Harapan Utama yang habis 1 April 2022, PT Adaro Indonesia yang habis 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung yang habis 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal yang habis 26 April 2025.
“Pertanyaannya, mana yang adil?” lanjut UIY, sembari menyampaikan, apabila hal ini ditanyakan kepada publik, niscaya mereka yang menggunakan akal sehat dan nurani pasti menjawab UU Nomor 4 Tahun 2009 yang adil.
Sebabnya, sumber daya alam khususnya batu bara adalah milik umum/rakyat yang pengelolaannya harus dilakukan oleh negara.
Oleh karena itu, sekali lagi UIY menegaskan bahwa keadilan muncul berawal dari undang-undang yang adil. “Di situlah kenapa kita bolak-balik mengatakan tegakkan syariah. Karena syariah itu adalah undang-undang yang turun dari Zat yang Maha Adil,” tuturnya.
Berikutnya terkait orang yang berwenang menegakkan hukum yang adil juga harus adil, lanjut UIY, memang tidak ada jaminan akan berakhir adil.
Tetapi dengan menggunakan peraturan yang adil sebagaimana ia utarakan, yakni yang berasal dari Zat Mahaadil, mestinya bisa mewujudkan keadilan.
Itulah ketika UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ditegakkan, kata UIY, yang muncul justru ketidakadilan.
“Kalau begitu maka makin runtuhlah harapan untuk terwujudnya keadilan itu,” lugasnya, dengan menyebut pula dunia hukum saat ini telah menjadi semacam ladang transaksional.
Makanya, ia sependapat dengan Faizal Assegaf, Ketua Progres 98 yang juga turut menjadi salah satu narasumber. Ia menyampaikan bahwa fenomena ketidakadilan yang sudah begitu menganga di dalam seluruh aspek ini harus diserukan oleh seluruh rakyat.
Rakyat Bersatu
Sehingga kemudian, sangatlah penting untuk seluruh rakyat bersatu padu menghentikan ketidakadilan dimaksud. Sebab kalau tidak, katanya, pada periode-periode kepemimpinan berikutnya akan membawa negara ini pada kondisi yang bertambah buruk dan sangat mengkhawatirkan.
“Karena esensi dari kita bernegara itu tak lain adalah mewujudkan keadilan,” jelasnya.
Lagi pula mewujudkan keadilan adalah bagian dari perintah untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar, seperti halnya hadist Nabi SAW yang artinya:
‘Hendaklah kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)’ (HR Abu Dzar).
Dengan demikian jelaslah, amar makruf nahi mungkar termasuk prinsip dasar agama Islam yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. “Kalau tidak ingin terus berlangsung (ketidakadilan), maka amar makruf nahi mungkar itu harus betul-betul kita tegakkan,” pungkasnya.[] Zainul Krian