UIY: Islam Tak Pernah Hancurkan Negara
Mediaumat.id – Membahas politik identitas dalam konteks Indonesia, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyampaikan, tidak pernah sekalipun Islam menghancurkan negara.
“Tidak pernah ada Islam itu menghancurkan negara,” ujarnya dalam Politik Identitas: Fokus to The Point, Kamis (29/12/2022) di kanal YouTube UIY Official.
Menurutnya, yang justru hampir-hampir menghancurkan Indonesia adalah komunis. Dan sekarang sudah pasti kapitalis liberalis. “Lihat itu bagaimana sumber daya alam dikeruk begitu rupa tanpa menyisakan untuk kebaikan rakyat di negeri ini,” bebernya.
“Emas di Freeport diambil, sementara Irian Jaya (Papua, sekarang) tetap saja (rakyatnya) tinggal seperti itu,” imbuhnya, tanpa berniat merendahkan.
Begitu pula liberalisasi hukum, ekonomi, budaya, dsb., yang kata UIY, akhirnya menjadikan orang kaya makin kaya, sementara yang miskin bertambah miskin. “Itu yang harus dianggap sebagai (hal) yang membahayakan negara, bukan Islam,” tegasnya.
Islamisasi Politik
Makanya, sebagai umat Islam semestinya harus mendukung upaya islamisasi politik. “Islamisasi politik itu adalah politik dengan cara Islam. Politik dengan cara Islam itu politik yang tidak menghalalkan segala cara, politik yang mengerti halal dan haram,” terangnya.
Bukan politisasi Islam yang ini hari, kata UIY, justru mengarah kepada gaya-gaya machiavellianistik (manipulatif) dengan menghalalkan segala cara termasuk menggunakan hukum untuk kepentingan politik bukan menegakkan keadilan.
Pun demikian apabila mengaitkan politik dengan Islam, orang tidak boleh lagi khawatir terhadap islamisasi politik. Sebabnya, islamisasi politik pun akan menjadikan suatu urusan politik yang rahmatan lil alamin.
Dan yang menjamin itu, tegas UIY, adalah keimanan, ketaatan kepada syariah berikut ketentuan atau batasan halal dan haram di dalamnya.
Lagipula, identitas politik seorang Muslim harusnya hanya politik Islam itu sendiri yang secara sadar atau tidak, kaum Muslim telah berikrar dengannya di setiap shalat. “Kita berikrar bahwa hidup mati kita itu lillahi rabbil alamin, berarti kan ada hidup yang lillah, ada yang lighairillah (untuk selain Allah),” urainya.
Begitu pula istilah keluarga maupun ekonomi lillah dan lighairillah. Hingga politik pun ada yang lillah, dan lighairillah. “Mustinya kita sebagai seorang Muslim, identitas politik kita itu lillah, untuk Allah. Artinya ini politik dalam rangka ibadah, bukan politik lighairillah,” tandasnya.
Untuk diketahui, politik lighairillah, berarti politik yang bukan dalam rangka ibadah, tetapi demi kakuasaan semata.
Lantas ketika kekuasaan yang menjadi tujuan utama telah diraih, tak bisa tidak, si penguasa bakal berupaya menumpuk kekayaan untuk mempertahankan kekuasaan dimaksud. “Begitu seterusnya tanpa mengindahkan halal dan haram, tanpa mengindahkan penderitaan orang lain, tanpa mengindahkan keadilan, dsb.,” jelasnya.
Makanya ia menyebut aneh terhadap pihak-pihak yang telah ‘merusak’ sedemikian rupa lalu tiba-tiba bicara tentang larangan seseorang untuk memiliki identitas politik Islam.
Maka itu pula, umat harus menolak politisasi Islam yang menjadikan Islam sekadar alat meraih kepentingan politik. Semisal, non-Muslim memakai peci, keluar masuk pesantren menjelang pemilu. Atau bukan non-Muslim, tetapi melakukan hal sama dengan penampilan bak orang saleh, padahal sehari-harinya tak pernah bicara tentang Islam.
Dengan kata lain, begitu kursi didapat, seketika itu melupakan ‘Islam’. “Ini yang enggak boleh, ini yang harus dicegah, dan ini yang harus dilawan, politisasi Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian