UIY Ingatkan Hukum Ada untuk Mewujudkan Keadilan Bukan Sebaliknya

Mediaumat.id – Menanggapi kasus hukum dugaan penyebaran berita bohong yang menimpa Habib Bahar bin Smith (HBS) berkenaan tragedi KM50 yang status hukumnya dari semula sebagai saksi berubah cepat menjadi tersangka, Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengingatkan bahwa hukum diadakan untuk mewujudkan keadilan, bukan sebaliknya.

“Hukum diadakan untuk mewujudkan keadilan, bukan justru sebaliknya, muncul ketidakadilan,” ujarnya dalam diskusi daring HBS Ditahan: Ketidakadilan Hukum Makin Nyata? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (09/01/2022).

Selain itu, sambung UIY, hukum yang mewujudkan keadilan dimaksud akan menjadi barrier atau penghalang bagi manusia agar tidak saling menzalimi.

Sehingga ia merasa heran ada sebagian pihak merasa senang dengan proses hukum terkait tragedi KM50 yang menewaskan enam laskar FPI yang menurut banyak kalangan justru sarat dengan ketidakadilan.

“Bagaimana mungkin ada orang yang dibunuh secara semena-mena itu kemudian disoraki. Sekarang pertanyaannya bagaimana kalau itu anak dia? Bagaimana kalau dulur dia? Bagaimana kalau bapak dia? Bagaimana, apakah akan tetap sorak seperti itu?” ucapnya.

“Ini ada pembunuhan, hukum tidak tegak, ya pasti timbul masalah,” sambungnya.

Hentikan Ketidakadilan

Sebenarnya masyarakat memiliki hak untuk menghentikan ketidakadilan tersebut yang menurut UIY telah menimbulkan kerusakan hukum sebagaimana pula kerusakan-kerusakan yang menyentuh aspek lain termasuk ketidakadilan ekonomi yang telah juga menimbulkan kesenjangan sosial berikut pengambilalihan hak masyarakat seperti dalam kasus undang-undang minerba.

“Bagaimana bisa perkara barang yang sama di undang-undang lama itu (UU No. 4/2009), itu sudah dinyatakan ini kembali kepada negara. Barangnya sama itu. Di undang-undang yang lain (UU No. 3/2020) dibuat undang-undang kemudian dikatakan harus kembali kepada korporat,” bebernya.

Bahkan di sana juga disebutkan kepastian perpanjangan kontrak 2 kali 10 tahun dengan opsi lain 2 kali 10 tahun lagi. “Empat puluh tahun. Coba bayangkan,” tegasnya dengan menyatakan UU Omnibus Law juga termasuk kebijakan yang menzalimi rakyat.

Menurut UIY, ketidakadilan demikian memunculkan pertanyaan. “Di mana itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Kemanusiaan yang adil dan beradab itu dimana letaknya itu?” herannya.

“Lalu Ketuhanan yang Maha Esa, sementara Tuhannya dihinakan, agama dihinakan segala macam itu dibiarkan saja itu. Lah baguslah ini kalau ada Ferdinand itu diproses. Kalau tidak juga, sudah enggak karu-karuan,” imbuhnya menyinggung kasus FH baru-baru ini.

Karut Marut

Dengan kondisi hukum yang menurut UIY sudah karut marut tersebut, ia mengajak umat untuk memperhatikan setidaknya dua hal yang menjadi pangkal persoalan. Pertama, proses legislasi yang semestinya tidak bersifat antroposentris, tetapi lebih kepada transedental.

“Sepanjang proses legislasi itu diserahkan kepada mekanisme yang bersifat antroposentris seperti yang ada sekarang dalam sistem demokrasi, itu akan akan begini terus sampai kapan pun,” tuturnya.

Di situlah, lanjutnya, umat mesti memikirkan tentang makna kedaulatan syara’, bukan kedaulatan di tangan rakyat. Pasalnya, proses legislasi suatu hukum yang bersifat transendental memiliki prinsip-prinsip dasar hukum yang tidak memungkinkan menjadikan arena transaksi atau pun negoisasi.

“Sekali haram, dia akan haram terus. Sekali halal dia halal. Tidak akan bisa berubah dari halal menjadi haram, dari haram menjadi halal seperti kasus (UU) Minerba tadi itu,” paparnya.

Kemudian yang kedua, pelaksana hukum. “Pelaksana hukum ini, ini saya kira satu hal juga yang hilang juga pada kita ini hari adalah suasana transedental,” terangnya.

Dengan kata lain, nilai ibadah sudah tidak terasa. Apalagi kata UIY, saat seorang aparat penegak hukum dituntut untuk menegakkan hukum dengan adil, harapan itu tidak akan pernah terwujud.

Ia juga menghimbau, ketika nilai transendental dalam upaya penegakan hukum sudah tidak ada lagi, maka yang berkembang kemudian adalah nilai material. “Kalau tidak menerapkan, aku akan dapat yang lebih besar maka dia akan cenderung memilih tidak menerapkan, atau sebaliknya kalau aku menerapkan aku akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar maka dia cenderung menerapkan,” tandasnya mengilustrasikan.

Di situlah akhirnya, suatu penerapan hukum akan menjadi ajang transaksi dan negoisasi sebagaimana proses legislasi. “Mengapa? Karena kehilangan nilai transedental,” jelasnya.

Sudahlah situasi akan menjadi menyedihkan karena harapan atau keadilan hukum yang diangankan tidak terwujud. Dan, tambahnya, akan makin mengerikan tatkala ketidakadilan makin menjadi-jadi.

“Alih-alih selesai malah timbul masalah baru. Tumpukan masalah, tumpukan masalah, tumpukan masalah dan pasti daya dukung sosial, daya dukung psikologis masyarakat itu ada batasnya, ada ambangnya,” ujarnya.

Dengan demikian, pesan UIY, penting bagi umat untuk memastikan bahwa pemimpin yang dipilih harus betul-betul amanah serta bergantungnya hanya kepada Allah SWT dalam hal ini, memimpin hanya untuk ibadah. Bukan sekadar meraih kedudukan demi keuntungan dunia, apalagi menjadi pelayan asing atau pun oligarki.[] Zainul Krian

Share artikel ini: