Mediaumat.info – Menjawab pertanyaan apa yang paling menonjol dalam masalah politik di Indonesia khususnya tahun 2023, Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, negara mengalami pergeseran dari negara hukum menjadi negara kekuasaan.
“Kenyataannya negara kita, dan ini sudah sangat sering disampaikan oleh para pengamat, oleh para kritikus, itu mengalami pergeseran secara fundamental dari apa yang disebut negara hukum menjadi negara kekuasan,” tuturnya di Focus to The Point: Rezim Tanpa Oposisi, Senin (15/1/2024) di kanal YouTube UIY Official.
Ia menyebut, ciri sebuah negara menjadi negara kekuasaan adalah ketika kekuasaan mengatur hukum.
“Jadi hukum itu dibuat oleh penguasa untuk kepentingan kekuasaan. Ini mirip sekali dengan apa yang dikatakan oleh Macviavelli. Kalau kita membaca poin-poin penting dari Il Principe (Sang Penguasa/buku karya filsuf Niccolo Machiavelli) di sana disebut, taatilah hukum sepanjang itu menguatkan kekuasaanmu. Jika hukum menghambat atau mengurangi kekuasaanmu maka ubah atau ganti hukum itu,” jelasnya.
Ia mencontohkan hukum untuk kepentingan kekuasaan dalam kriteria wakil presiden. “Konstitusi yang sekian lama itu dipegang begitu rupa bahwa batas usia calon presiden 40 tahun itu bisa dirubah begitu rupa untuk kepentingan seorang anak kecil,” tukasnya.
Akar Persoalan
Menurut UIY, akar persoalan kenapa kekuasaan demikian kuat pengaruhnya terhadap hukum karena hukum antara teori dan praktik berbeda.
“Hukum dalam teorinya dibuat wakil rakyat. Karena wakil rakyat maka akan bekerja sesuai aspirasi rakyat. Tapi dalam faktanya tidak begitu. Mengapa? Karena, betul dia menjadi wakil rakyat, tetapi dia di bawah kendali partai, partai di bawah kendali pimpinan partai, pimpinan partai pada faktanya kemudian di bawah kendali kekuasaan,” ulasnya.
Apalagi, lanjutnya, kalau dia punya kasus maka kemudian kasus itu dijadikan sebagai alat untuk menekan pimpinan partai supaya partai ini mengikuti semua kemauan kekuasaan. Termasuk di dalam proses-proses pangambilan keputusan dan pembuatan peraturan perundang-undangan.
“Jadi umat dijadikan sebagai obyek untuk melegitimasi wakil rakyat, wakil rakyat djadikan sebagai alat untuk melegitimasi seluruh proses pembuatan peraturan perlindungan untuk kekuasaan,” tandasnya.
Kekuasaan, terangnya, telah mengakali undang-undang demi kepentingan politik dan ekonomi.
Mengendalikan
Dalam pandangan UIY, oposisi tidak muncul di rezim saat ini karena rezim tahu persis bagaimana cara mengendalikan bahkan menaklukkan oposisi.
“Intinya tidak pernah keluar dari dua yaitu stick and carrot (wortel dan tongkat/hadiah dan hukuman). Ini hari kita melihat yang dicari oleh kekuasaan itu pejabat-pejabat bukan orang yang bersih, tapi orang yang justru punya masalah supaya dia bisa dikendalikan dengan masalahnya,” mirisnya.
Kemudian, ucapnya, yang kedua carrot (wortel/hadiah) yaitu dengan iming-iming kekuasaan. Ini terbukti efektif. Hampir semua kekuatan oposisi itu tumpul di bawah dua pendekatan stick and carrot.
“Ini adalah watak dasar dari manusia yang selalu mengedepankan kepentingan, baik kepentingan diri, kerabat atau kelompok. Karena itu ketika kita bicara demokrasi pasti akan bicara kepentingan. Kepentingan ini merubah semua-muanya. Karena itulah tidak ada sesuatu yang bersifat tetap di dalam sistem demokrasi. Semuanya bisa berubah bergantung kepada kepentingan,” kritiknya.
Ini, sambungnya, menjadi kesalahan mendasar dari gagasan kedaulatan di tangan rakyat. “Siapa yang memiliki hak untuk menetapkan hukum atas benda dan perbuatan? Ketika dikatakan hak itu ada pada rakyat melalui wakil-wakilnya, di situ kelemahan paling dasar atau kesalahan paling dasar,” yakinnya.
Mestinya, ia menerangkan, hak untuk menetapkan hukum atas benda dan perbuatan itu bukan pada manusia, karena kalau manusia pasti punya kepentingan.
“Mestinya hukum harus berasal dari luar manusia yang tidak punya kepentingan apa pun terhadap dibuatnya ketentuan-ketentuan itu. Siapa itu? Ya tentu yang menciptakan manusia. Itulah Allah SWT. Karena itulah kedaulatan itu mestinya bukan di tangan rakyat tapi di tangan Allah SWT, di tangan syariat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun