Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai meski tahun ini Indonesia memegang presidensial untuk G20 tapi tidak mengubah posisi Indonesia sebagai negara pengikut.
“Secara keseluruhan political positioning (posisi politik) Indonesia tidak berubah. Kalau dalam bahasa kitab disebut sebagai negara tabi (pengikut) atau negara satelit dari negara besar,” ujarnya dalam rubrik Catatan Peradaban, Hajatan G20: Indonesia Untung Atau Buntung? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Kamis (17/11/2022).
Bisa ikut Amerika atau ikut Cina atau ikut keduanya. “Indonesia mencoba menyeimbangkan antara kepentingan Amerika dan kepentingan Cina. Kepentingan Amerika secara ekonomi itu corporate capitalism (kapitalisme korporasi) seperti Freeport, Chevron dan lain sebagainya. Sementara kepentingan ekonomi Cina itu state capitalism (kapitalisme negara),” jelas UIY.
Menurut UIY, cengkeraman kapitalisme negara tidak akan bisa diubah dalam waktu dekat, bahkan cengkeraman itu makin kuat setelah masuknya beberapa proyek mercusuar seperti kereta cepat atau IKN.
Sementara itu, cengkeraman dari sisi politik, nilai UIY ini yang susah dirujukkan. “Kalau ekonomi masih bisa dirujukkan, karena bisa dibelah, proyek bisa dibagi. Misal minyak untuk Amerika, nikel untuk Cina. Tapi kalau politik tidak bisa dibagi,” tukasnya.
Politik itu, kata UIY, sifatnya hegemonik. Amerika tidak mau kehilangan kawasan Asia Pasifik, tapi justru di kawasan Asia Pasifik itu ada Cina. “Di situlah saya kira kegamangan Indonesia tidak bisa ditutupi apakah akan memberikan fasilitas kepada Amerika atau Cina,” ungkapnya.
Potensi Besar
UIY mengatakan, Indonesia punya potensi besar untuk menjadi negara utama. “Sebenarnya kita punya potensi sangat besar baik dari sisi geostrategis, geoekonomi, geopolitik, kita punya semua,” jelasnya.
Sebagai contoh UIY mengungkap bahwa 98 persen tenaga kerja Freeport itu digerakkan oleh sumber daya manusia Indonesia. “Saya pernah bicara dengan teman waktu masih di Caltex dulu, lima dari tujuh vice president Caltex itu orang Indonesia. Artinya kita punya kemampuan,” yakinnya.
Cuma, sambungnya, yang menentukan itu semua bukan nilai-nilai strategi, tapi apakah haluan politik dan ideologinya itu punya warna sendiri yang mandiri atau menjadi part off (bagian) dari negara yang diikuti.
“Kalau kita menjadi part off, selamanya akan menjadi pengikut. Pengikut dari yang lebih kuat secara ekonomi, secara teknologi dan sebagainya,” ujarnya.
UIY menilai, Indonesia akan bisa bergesar jika lepas dari dua ideologi besar kapitalisme dan sosialisme. “Apa yang bisa memberikan perubahan tinggal satu yaitu Islam. Hanya kelihatannya makin jauh mengarah ke sana. Alih-alih mengarah ke sana, lah wong mau mengarah ke sana sudah dijuluki dengan istilah radikal. Ini artinya makin menjauh,” bebernya.
Kalau makin menjauh, lanjutnya, berarti tidak ada intensi untuk membangun Indonesia memiliki arah baru atau menjadi sebuah negara mandiri.
“Kita hanya akan terus menjadi negara dengan posisi seperti ini. Merelakan diri menjadi part off dari kepentingan-kepentingan poltik maupun kepentingan ekonomi,” kritiknya.
UIY mengatakan, harus ada pikiran baru meski ada tantangan. “Kalau menginginkan perubahan yang bagus yang berdasar kepada sesuatu yang lebih bagus itulah Islam. Saya kira proses yang akan menentukan apakah akan terwujud atau tidak,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun