UIY: Basis Filosofis Permendikbud 30/2021 Memang HAM yang Rusak

 UIY: Basis Filosofis Permendikbud 30/2021 Memang HAM yang Rusak

Mediaumat.id – Berkenaan dengan Permendikbud Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang menuai kontroversi karena terkesan melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas, menurut Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY), salah satunya dikarenakan basis filosofis dari peraturan menteri dimaksud cenderung kepada hak asasi manusia (HAM) yang memang rusak.

“Ini bukan sekadar persoalan bahwa di situ ada pasal-pasal yang bisa membuka peluang terjadinya seks bebas, tetapi di dalamnya itu ada gagasan yang menurut saya gagasan filosofis, basis filosofis yang memang sudah rusak. Yaitu HAM,” ujarnya dalam Fokus: Permendikbud 30/2021, Legalisasi Seks Bebas? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (28/11/2021).

Sebelumnya, dari sisi substansi pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual, UIY sependapat, bukan di lembaga pendidikan saja. Tetapi di mana pun, kekerasan seksual itu tidak boleh terjadi.

Hanya saja, apabila cara mengaturnya seperti itu, maka pantas juga menimbulkan permasalahan dan pertanyaan. “Pada poin-poin yang menjadi substansi penting, substansi pokok dari permendikbud ini yaitu, apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual itu?” tanya UIY,

Menurutnya, definisi seksual yang digunakan dalam peraturan menteri (permen) tersebut, menganut konsepsi consent atau persetujuan dalam melakukan aktivitas seksual. “Tampak sekali bahwa definisi dari kekerasan seksual ini, ini menganut konsepsi consent, persetujuan,” jelasnya sembari membeberkan bunyi pasal 5 ayat 2 permen dimaksud yang memang terkesan melegalisasi perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

Ia juga mempertanyakan, “Jika tanpa persetujuan korban itu tidak boleh, bagaimana kalau dengan persetujuan korban?”

“Kalau tidak boleh, lalu itu ada di mana aturan itu yang melarang atau mengatakan itu tidak boleh itu di mana? Enggak ada, enggak terjawab,” tegasnya.

UIY memandang, frasa ‘persetujuan korban’ lahir dari sebuah gagasan filosofis yang kalau ditelusuri lebih jauh, permen tersebut memang terdapat konsiderans mengingat dengan UU Sisdiknas Nomor 20/2003. Namun berada di urutan keempat setelah UUD 1945 pasal 17 ayat 3 di urutan pertama.

“Nomor (urutan) duanya itu tentang CEDAW, Undang-Undang 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women,” jelasnya.

Sedangkan, CEDAW sendiri, kata UIY, basis filosofisnya adalah perjuangan atau gagasan tentang kesetaraan gender. “Melawan diskriminasi itu di dalam rangka untuk apa yang mereka katakan sebagai kesetaraan gender,” ungkapnya.

Berikutnya, dari kesetaraan gender, lanjut UIY, lebih jauh lagi basisnya sangat jelas adalah HAM yang tersebut dalam poin nomor 3, UU Nomor 39/1999. “Di dalam dasar pandangan HAM itu memang dikatakan bahwa manusia itu punya hak atas tubuh atau istilah kerennya itu kedaulatan atas tubuh,” jelasnya.

Sehingga, memang benar ketika tanpa persetujuan, perilaku seksual tidak boleh dilakukan. “Terus bagaimana kalau saya tidak keberatan, kalau saya setuju? Itu tidak melanggar HAM. Yang melanggar HAM adalah yang melarang. Sebenarnya itu problemnya,” urainya sekali lagi.

Lembaga Pendidikan

UIY melihat, lembaga pendidikan adalah institusi yang paling bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan di negeri ini. Sayangnya, institusi tersebut telah mengadopsi gagasan-gagasan filosofis HAM dengan mengabaikan atau menempatkan UU Sisdiknas di bawah filosofi HAM.

Padahal, di dalam UU Sisdiknas, sangat jelas disebutkan dasar, fungsi serta tujuan pendidikan di pasal 3. “Tetapi ini enggak muncul di dalam turunan permendikbud itu. Tidak muncul. Kalau dia muncul, mestinya basisnya itu, itu bukan consent,” tambahnya.

“Basisnya itu mestinya iman dan takwa. Kalau iman dan takwa, maka ketemu kita, bahwa memaksa tidak boleh. Jika melakukan sesuatu tanpa persetujuan itu tidak boleh. Tapi juga tidak boleh juga dengan persetujuan,” imbuhnya tegas.

Karena itu, UIY menuturkan, perjuangan umat bukan sekadar menolak permen yang sarat kontroversi tersebut. Tetapi sudah berhadapan dengan gagasan-gagasan filosofis yang jelas bertabrakan dengan diktum-diktum penting di dalam UU Sisdiknas yaitu iman dan takwa.

Terakhir, pesannya, umat harus senantiasa waspada. “Ini hanya sekelas permendikbud. Tetapi sekali ini bisa lolos, saya kira ini akan bisa menjadi preseden yang sangat berbahaya di masa yang akan datang,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *