Uganda Disanksi Gegara Sahkan Hukuman Mati LGBT, Pengamat: AS Tidak Demokratis

Mediaumat.id – Sebagai kampiunnya demokrasi, sikap Amerika Serikat (AS) yang menjatuhkan sanksi atas Uganda gegara telah mengesahkan hukuman mati bagi kaum LGBT, dinilai justru tidak demokratis.

“Ini jelas-jelas kalau berpegang pada prinsip demokrasi Amerika, ini suatu tindakan yang tidak demokratis” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada Mediaumat.id, Kamis (22/6/2023).

Sebab, menurutnya, AS sedang memaksakan pendapatnya ke negara lain. “Kalau demokrasi, seharusnya Amerika berpegang pada prinsip suara rakyat dan menghormati perbedaan pendapat?” cetusnya.

Ia pun menyinggung prinsip demokrasi yang rumornya berpegang pada suara rakyat dan menghormati perbedaan pendapat, dan tegaknya supremasi hukum, tetapi tidak bagi kasus di Uganda.

Terlebih yang dijadikan dasar oleh AS adalah hak asasi manusia (HAM) yang sebelumnya dianggap sebagai bagian dari pandangan universal.

Padahal tidak demikian. “HAM itu suatu pemikiran yang muncul dari Barat dan pandangan hidup tertentu, yaitu kapitalis,” terangnya.

Pun istilah kapitalis maupun kapitalisme, sambungnya, bukanlah pandangan universal. Tetapi pandangan yang didasarkan pada asas sekuler untuk kepentingan para pemilik modal.

Omong Kosong

Makanya, langkah menjatuhkan sanksi atas Uganda ini, kata Farid, juga membuktikan bahwa AS adalah negara diktator berkedok demokrasi. “Ini jelas-jelas menunjukkan Amerika adalah negara diktator yang bertopengkan demokrasi,” tandasnya.

Sehingga, klaim sebagai negara demokrasi hanyalah bualan saja. “Ini menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai negara demokrasi, bahkan mengklaim sebagai kampiunnya demokrasi, ini adalah omong kosong belaka,” imbuh Farid.

Untuk diketahui sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Reuters, pada 29 Mei 2023 lalu, Presiden Yoweri Museveni, menandatangani UU yang di dalamnya terdapat ketentuan hukuman mati untuk para pelaku homoseksual di Uganda.

Kendati demikian, lanjut Farid menyampaikan, bisa jadi, dikarenakan sikap AS, keputusan hukum Uganda terkait LGBT berubah seperti apa yang terjadi di Brunei Darussalam di pertengahan 2019.

Kala itu, sebagai tanggapan nyata atas kritik selama beberapa pekan dan boikot profil tinggi, Sultan Brunei mengatakan negaranya akan memperpanjang moratorium hukuman rajam atas pelaku homoseksual dan perzinaan.

Kekuatan Politik Islam

Karenanya, Farid pun menyampaikan pentingnya umat Islam memiliki negara yang independen. “Di situlah pentingnya, terutama kita umat Islam itu memiliki negara yang independen, negara yang berdiri di atas kaki sendiri, berdiri di atas ideologi sendiri, yakni Islam, dan memiliki kekuatan politik,” tuturnya.

Adalah khilafah ‘ala ninhaj an-nubuwwah, yang dengannya, seluruh cita-cita seputar independensi negara bakal terwujud.

Ditambah, negara khilafah inilah yang menurut Farid, memiliki kekuatan politik secara global untuk menyatukan dunia Islam secara keseluruhan.

“Menyatukan pasar di dunia Islam, menyatukan sumber daya manusia di dunia Islam, menyatukan mata uang atas dasar dinar dan dirham,” tegasnya, yang juga menyampaikan tentang betapa besarnya potensi kekuatan militer di dunia Islam.

Artinya, jelas Farid, semua ini hanya bisa terwujud ketika di tengah-tengah umat berdiri negara khilafah yang tentunya, membutuhkan pula kekuatan elemen-elemen peradaban.

“Di antaranya, pemikiran Islam, aturan atau hukum yang berdasarkan syariat Islam serta negara berikut sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: