Mediaumat.id – Dirilisnya lima ciri penceramah radikal-intoleran oleh BNPT, dan sempat berhembus liar di media sosial hingga kabarnya menyasar 180 orang, dinilai Dai Ustaz Felix Siauw (UFS) karena mereka melakukan itu karena sudah tak mampu lagi bertanding secara konsep dan konten.
“Ketika mereka tidak mampu bertanding secara konsep dan konten, maka mereka pasti akan menyerang orang-orang yang mendakwahkan (Islam),” ujarnya dalam Fokus Spesial Bincang Hangat: Radikal Radikul, Ada Apa? di kanal YouTube UIY Official, Ahad (12/3/2022).
Hal itu, menurut UFS, serupa dengan yang dilakukan para penentang Rasulullah SAW ketika dulu mereka juga tidak siap berdebat secara ide dan konsep. “Ini orang kayaknya gila ini, ini orang kayaknya tukang sihir ini, dan seterusnya. Jadi ujung-ujungnya ke sana,” ucapnya mengisahkan.
Artinya, kata UFS, andai umat sampai mengetahui serta bisa membandingkan betapa Islam ternyata pernah mampu mengatur sebuah negeri, pasti akan memilih Islam sebagai sistem bernegara.
Tetapi, lanjut UFS, para penentang dimaksud sesungguhnya malah menginginkan agar seluruh masyarakat diam terhadap kezaliman-kezaliman yang dilakukan penguasa saat ini.
Sebutlah penjualan berbagai aset negara ke luar negeri, urusan haji yang bahkan tertunda, hingga perkara sulitnya memperoleh seliter minyak goreng sampai ribut persoalan logo halal dari Kemenag baru-baru ini.
“Dan siapa pun yang mengkritik, siapa pun yang tidak suka pasti akan dilabeli sebagai radikal, dan itu adalah cara mereka,” tukasnya.
Maka itu, ia heran ketika mengetahui kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua yang jelas-jelas membawa senjata, menyerang, bahkan membunuh warga sipil hingga aparat, enggak pernah disebut teroris.
Pasalnya, jangankan disebut radikal, diperhatikan saja tidak. “Kasihan juga saya sama mereka. Mungkin mereka harus masuk Islam (dulu),” ucapnya.
Membingungkan
Secara falsafah dan toleransi di negeri ini, ia justru bingung terhadap poin pertama dari ciri-ciri penceramah dimaksud. Sebab di lingkungan keluarga besarnya, kata UFS, ia sudah merasa Pancasila banget dengan kemajemukan di dalamnya.
“Orang tua saya itu Katolik, nenek saya itu Budha. Ada beberapa keluarga saya itu juga ada yang menikah sama orang Hindu,” paparnya.
Malah ketika momen berkumpul keluarga besar tiba, lanjutnya, hadir juga keluarga dari Jawa, Palembang serta Kalimantan. “Dan kita sudah terbiasa dengan semua itu,” tambahnya.
Terkait frasa pro-khilafah, ia menjelaskan bahwa itu sekadar cara berpemerintahan. “Khilafah ini kan metode yang diterapkan oleh para khalifah,” tegasnya.
Oleh karena itu, kalau anggapan positif terhadap khilafah adalah sebuah bentuk radikalisme, bagaimana dengan menyama-nyamakan perilaku seorang pemimpin dengan khalifah?” bingungnya lagi sembari menyinggung karakter salah seorang presiden yang pernah diumpamakan dengan sosok Khalifah Umar bin Khattab.
“Apakah ini bentuk radikalisme juga? Nah ini kan harus konsisten,” tegasnya.
Di sisi lain, ajaran Islam khilafah ternyata juga sudah masuk di bab fikih kelas 12 tingkat Aliyah. Lantaran itu UFS menimpali dengan kebingungan lagi. “Masak haram?” herannya.
Sedangkan tentang istilah kafir, menurut UFS itu sekadar istilah. Sebagaimana kata jomblo atau single bagi orang yang belum nikah. “Lalu kita mesti sebut apa orang yang belum nikah?” senyumnya.
Sementara terkait poin berikutnya, yakni mengkafirkan beda agama, UFS justru menilai pemerintah terkesan mencampuradukkan antara term membedakan dan membenci. “Kalau kita beda agama, seolah-olah kita benci dia, kalau kita tidak mau minum khamr berarti kita benci dengan orang yang minum khamr,” misalnya.
Padahal, seperti halnya ketika mualaf, UFS tidak lantas kemudian membenci orang yang masih makan babi. “Bahkan di dalam Islam juga sebaliknya, kita diwajibkan berdakwah kepada orang lain, bukan (hanya) Muslim,” sebutnya.
“Dan berdakwah itu adalah tanda sayang, tanda cinta. Karena kita enggak mungkin ajak kalau kita enggak suka,” tuturnya lebih.
Selanjutnya, tentang tudingan menanamkan sikap anti pemerintah yang sah, UFS menegaskan, kalaupun pemerintah tetap berpikiran bahwa mengkritik sama dengan tidak suka, ia malah balik bertanya.
“Bagaimana caranya di dalam sistem demokrasi yang mereka agung-agungkan itu untuk bisa memperbaiki atau menyarankan sesuatu, kalau setiap saran dikatakan sebagai sebuah hinaan, kritikan, makian atau pun tidak suka?” bingungnya lagi.
“Ini kan enggak ada cara. Enggak ada cara sama sekali,” tukasnya menyinggung pintu dialog sudah ditutup sepihak via pencabutan BHP dengan dalih radikal beberapa tahun lalu.
Terakhir, ciri-ciri dengan poin anti budaya atau kearifan lokal yang disematkan kepada penceramah yang mereka maksud, UFS justru menyampaikan ada beberapa budaya yang perlu dikoreksi dengan Islam. “Ini bukan arabisasi budaya, tetapi islamisasi budaya,” selanya.
Dengan kata lain, terkadang suatu kearifan lokal memang semestinya perlu dikoreksi sebagaimana salah satu slogan yang dipakai di Nahdlatul Ulama (NU) yakni Al-muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
“Kita itu tidak harus menyalahkan yang lama selama itu benar. Bahkan kita juga menjaga kalau ada yang benar, ada yang baik di antara yang lama yang dilakukan. Tetapi kita juga tidak menutup diri untuk mengambil sesuatu yang baik dan itu adalah yang baru,” pungkasnya.[] Zainul Krian