Mediaumat.id – Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa Dr. Ahmad Sastra menilai tujuh pemimpin negara mayoritas Muslim yang mengucapkan selamat natal 2022 terjebak paham pluralisme agama.
“Tentu saja mengandung permasalahan teologis yang dilarang dalam Islam. Sebagai pemimpin negara Muslim, ketujuh pemimpin itu terjebak dalam paham pluralisme agama yang di Indonesia telah dinyatakan haram oleh MUI tahun 2005,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Kamis (29/12/2022).
Sebab, lanjut Ahmad, istilah Natal adalah istilah khas yang ada pada agama Nasrani yang maknanya adalah kelahiran Tuhan Yesus. “Adalah tidak tepat jika menyamakan istilah Natal dengan istilah Maulid dalam Islam, sebab Maulid hanya merujuk kepada kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tidak lebih dari itu,” bebernya.
Ketujuh pemimpin negara Muslim dimaksud adalah Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan; Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi; Presiden Irak Abdul Latif; Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim; Presiden Indonesia Jokowi; Presiden Uni Emirat Arab Mohamed bin Zayed al-Nahyan; dan Presiden Iran Ebrahim Raesi.
Membahayakan
Dr. Ahmad Sastra menilai ucapan ketujuh presiden dan perdana menteri tersebut membahayakan akidah bagi rakyat Muslimnya yang masih awam. Karena, ucapan Natal yang maknanya mengakui kelahiran Yesus sebagai tuhan adalah masalah penyimpangan aqidah bagi seorang Muslim.
Menurutnya, ucapan Natal dalam perspektif demikian adalah bentuk sinkretisme dan pluralisme agama. “Psikologi masyarakat awam yang tidak memahami pluralitas sosiologis dan pluralisme teologis akan mengikuti apa yang dilakukan oleh pemimpin negaranya. Maka betapa beratnya tanggung jawab pemimpin yang melakukan kesalahan dan diikuti oleh jutaan rakyatnya,” ungkapnya.
Idealnya dan sudah semestinya, lanjutnya, seorang pemimpin Muslim memberikan petunjuk tentang kebenaran, bukan malah mencontohkan kesesatan aqidah. “Konsep toleransi dalam Islam sudah sangat tegas tercantum dalam Al-Qur’an surah al-Kafirun, yakni agamaku agamaku dan agamamu agamamu. Artinya dengan memberikan kesempatan untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing adalah cukup, tidak saling mengganggunya. Adalah tidak benar jika toleransi dipraktikkan dengan paham sinkretisme dan pluralisme sebagaimana dilakukan oleh tujuh pemimpin negeri-negeri Muslim di atas,” jelasnya.
Harus Dilakukan
Ahmad Sastra mengatakan, yang seharusnya dilakukan oleh Muslim yang sudah paham keharaman tersebut setidaknya ada tiga. Pertama, tentu saja menjauhi perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan hanya melaksanakan perintah-perintah Allah.
“Inilah wujud dari ketakwaan seorang Muslim, yakni patuh tunduk kepada perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan Allah. Perwujudan ketakwaan akan menjadi contoh teladan bagi orang-orang terdekat seperti keluarga, tetangga dan masyarakat,” terangnya.
Kedua, setiap Muslim yang paham akan keharaman mengucapakan Natal harus memberikan tarbiyah kepada masyarakat agar Muslim agar memahami dan berkomitmen untuk menjalankan ajaran Islam dengan benar. “Menjadi Muslim yang taat adalah pilihan terbaik, tidak mesti harus melanggar aqidah atas nama toleransi yang salah kaprah,” pesannya.
Ketiga, tentu saja berdakwah, mengajak masyarakat yang terjebak kepada sinkretisme dan pluralisme agama agar segera sadar dan taubat. “Dakwah juga ditujukan kepada para penguasa Muslim yang menyimpang dari ajaran Islam. Dosa seorang pemimpin saat melakukan maksiat tentu saja lebih besar dibandingkan orang awam, sebab pemimpin itu mestinya menjadi contoh yang baik, bukan contoh yang buruk,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it