Mediaumat.id – Terkait pemerintah Singapura yang mencekal Ustaz Abdul Somad (UAS) karena diklaim radikal, Pengamat Kebijakan Publik Dr. Erwin Permana, S.P., M.E. mengatakan negara punya hak mengklarifikasi.
“Masing-masing negara memiliki kebijakan sendiri-sendiri. Kalau Singapura misal mengklaim UAS radikal maka sebagai sebuah negara yang berdaulat kita juga memiliki ruang, memiliki hak untuk mengklarifikasi isu-isu itu semua,” tuturnya dalam acara Diskusi Spesial: Refleksi Deportasi Ustaz Abdul Somad, Jumat (20/5/2022) melalui kanal Youtube Majlis Gaul.
Menurut Erwin, mestinya pemerintah membersihkan nama UAS sehingga isu ini tidak menjadi isu liar, bahkan menimbulkan kekisruhan-kekisruhan baru.
“Tapi kalau kita memperhatikan di level kebijakan justru yang terjadi sebaliknya. Justru pejabatnya sendiri mengaminkan lebel yang distempelkan pemerintah Singapura. Ini apa, kita berdaulat apa enggak sih?” herannya.
“Kalau pemerintah Singapura mengklaim warga negara Indonesia seperti itu kenapa diaminkan? Kenapa pemerintah bertindak seperti hidungnya dicocok saja, seakan-akan apa yang disampaikan Singapura itu benar semuanya. Ini enggak bener sebagai negara yang berdaulat,” kesalnya.
Mestinya, lanjut Erwin, Indonesia juga memiliki pandangan sendiri sebagai negara dengan masyarakat mayoritas Muslim. Sikap Singapura ini pasti akan menyinggung perasaan masyarakat banyak. Jadi kalau ulamanya dibegitukan mestinya pemerintah berdiri membela, namanya dibersihkan, direhabilitasi, dijaga nama beliau, diundang ke istana, dihormati, karena selama ini beliau sudah istiqamah. Itu minimal.
“Syukur-syukur kalau secara diplomatis meminta Duta Besar Singapura untuk mengklarifikasi, ada apa anda ini? Kita negara tetangga jangan coba mengusik warga negara kami. Jika anda mengusik warga negara kami berarti mengusik kita semua, ada apa ini? Diminta penjelasan seperti itu. Itu namanya negara berdaulat. Tapi ternyata tidak, justru yang terjadi adalah sebaliknya,” tambahnya.
Erwin lalu memberikan analisis, bahwa pada akhirnya setiap statement atau setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui kebijakan publik itu memang ada proses yang disebut dengan proses politik. “Proses politik itu memang dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik,” tukasnya.
“Kita harus katakan bahwa kepentingan politik yang paling besar di Indonesia itu sejauh ini memang kepentingan yang tidak berpihak kepada Islam,” ungkapnya.
Kata Erwin, ini aneh sebab dunia hari ini tengah mengampanyekan Hari Anti-Islamofobia. “Tapi kita masih jualan radikal-radikul. Kebijakan moderasi agama dan juga kebijakan sejenis sangat tidak berpihak kepada Islam, dakwah Islam dan juga ulama pejuang Islam,” ungkapnya.
Menurutnya, ini mengonfirmasi kepada umat bahwa ekosistem politik hari ini sebenarnya ekosistem yang tidak ramah. Ekosistem hari ini adalah ekosistem yang dibangun di atas asas kehidupan sekuler, demokrasi yang tidak ramah kepada kaum Muslim, tidak ramah kepada ulama umat. “Kaum Muslim yang hidup di sistem sekuler itu seperti ikan yang hidup di darat,” tamsilnya.
“Ekosistem kaum Muslim itu adalah ekosistem yang hidup dalam kehidupan Islam yang ketentuan hukum dan kebijakan publiknya dibangun berdasarkan hukum-hukum syariat dalam mengatur urusan umat,” paparnya.
Kebijakan publik dalam Islam, lanjutnya, dibangun di atas kepengurusan terhadap umat. Jadi berdasarkan prioritas-prioritas kepentingan terhadap umat yang tujuannya untuk merealisasikan maksud syariat seperti menjaga jiwa, menjaga agama, menjaga negara, menjaga harta dan seterusnya.
Sementara, nilai Erwin, kebijakan publik dalam kapitalis itu untuk kepentingan segelintir orang kuat dari sisi modal, dan hukum berpihak pada kapitalis. “Dalam bahasa Prof Jeffrey Winters itu disebut sebagai kelompok oligarki. Merekalah yang paling mengendalikan arah negara sehingga apa pun opini, apa pun kepentingan di luar mereka yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka pasti akan mereka habisi,” jelasnya.
Oligarki itu berpesta pora di Indonesia dengan berbagai macam kekayaan alam. “Merekalah yang menentukan kebijakan, menentukan peraturan perundang-undangan bahkan menentukan siapa yang akan mengendalikan kebijakan. Siapa yang akan menjadi presiden, siapa yang akan menjadi gubernur dan seterusnya, para oligarki ini yang menentukan,” terangnya.
Erwin menilai, dalam sistem sekuler walaupun undang-undang mengatakan bahwa negara berkewajiban menjaga warganya, melestarikan ketertiban umum, melindungi segenap tumpah darah Indonesia, tapi tidak lebih hanya sebagai lip service belaka. Tidak betul-betul direalisasikan menjadi sebuah kebijakan yang melindungi semuanya.
“Ini harus menjadi sebuah pelajaran bagi kita bahwa kekuatan di balik ini semua adalah kekuatan yang tidak sejalan dengan kepentingan kaum Muslim, bahkan terbukti selama ini menciderai upaya-upaya perjuangan umat. Mereka memiliki capital power,” tandasnya.
Capital power ini bisa kita atasi dengan knowledge power (kekuatan pengetahuan) yang lahir dari ideologi Islam. Knowledge power ini disampaikan kepada masyarakat sehingga melahirkan kesadaran di tengah masyarakat, berikutnya akan melahirkan mobilitas pembelaan bersama.
“Hari ini ada kasus UAS. Kita harus melakukan pembelaan secara bersama terhadap UAS, karena pemerintahnya sendiri seperti tidak membela UAS. Sebab tidak menutup kemungkinan nanti akan muncul UAS-UAS lain,” ajaknya.
Erwin juga mengajak agar umat mengumpulkan, menghimpun energi untuk menunjukkan pembelaan secara nyata. Umat Islam harus bersuara, harus membongkar bahwa apa yang dikatakan pemerintah Singapura itu tidak benar.
“Kalau pemerintah diam maka kita tidak boleh diam, sebab diam terhadap kemungkaran itu sama dengan setan bisu, kita tidak mau menjadi setan yang bisu ketika ulama diganggu oleh siapa pun,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun