Mediaumat.info – Besaran uang pangkal yang ditetapkan bagi calon mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang mencapai Rp161 juta untuk sarjana kedokteran, membuktikan asas sistem pendidikan di negeri ini memang komersial berlandaskan kapitalisme.
“Ini menjadi salah satu indikasi bagaimana sistem pendidikan Indonesia dibentuk dengan asas komersialisasi yang berlandaskan prinsip-prinsip kapitalisme,” ujar Pengamat Pendidikan Maya Puspitasari, S.Pd., M.Sc., Ph.D. kepada media-umat.info, Ahad (5/5/2024).
Menurutnya, pendidikan di dalam sistem kapitalisme sebagaimana diterapkan saat ini, dianggap sebagai sebuah investasi yang harus ‘menghasilkan’ di masa depan.
Dengan kata lain, dunia pendidikan terkesan menjadi ‘pabrik pembuatan’ tenaga kerja yang dibutuhkan di dunia industri.
“Fokus tujuan pendidikan tidak lagi bertumpu pada ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ namun untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan motif ekonomi kapitalis,” tegasnya.
Berdasarkan informasi dari laman resmi UI, besaran uang pangkal yang ditetapkan bagi calon mahasiswa UI mulai dari Rp9 juta untuk program D3, hingga yang tertinggi mencapai Rp161 juta untuk sarjana kedokteran.
Maka yang terjadi justru ketidakadilan akses pendidikan di tengah masyarakat, terutama bagi golongan kurang mampu.
“(Akhirnya) jurang kesenjangan sosial pun semakin lebar,” tandasnya, sembari menyinggung teori survival of the fittest yang sangat kental dalam sistem pendidikan saat ini.
Adalah Herbert Spencer, pencetus teori seputar kelangsungan hidup yang terkuat, atau teori yang membahas perjuangan untuk bertahan hidup, tersebut. Melalui buku karyanya, Principles of Biology, yang terbit pada 1864, ia juga dikenal dengan pendapatnya bahwa prinsip evolusi, termasuk seleksi alam, berlaku untuk manusia, kelas sosial, serta spesies biologis lain yang berkembang seiring dengan perubahan alam di bumi.
Tak hanya itu, Spencer pun menulis bahwa ada keselarasan antara teorinya di bidang ekonomi dengan konsep temuan Darwin terkait dengan ‘seleksi alam’ atau kelangsungan hidup individu-individu terkuat.
Artinya, papar Maya lebih lanjut, peserta didik termasuk mahasiswa, juga bakal ‘diseleksi’ secara finansial. “Yang mampu bersaing dan bertahan, akhirnya mendapatkan akses pendidikan yang layak,” ujarnya, yang berarti orang kaya cenderung memiliki peluang lebih besar dalam mendapatkan pendidikan dan karier yang bagus.
Sistem Islam
Lain halnya dengan sistem Islam yang menurut Maya, menjunjung tinggi prinsip persamaan dan kesempatan yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah bagi semua orang mendapatkan hak pendidikan tanpa harus dibeda-bedakan apa statusnya.
“Di dalam Islam, pendidikan merupakan salah satu elemen penting yang dijunjung tinggi,” tegasnya.
Oleh karenanya, di dalam sistem pendidikan Islam di era pemerintahan Khilafah dahulu, misalnya, bersifat gratis dan terbuka.
Seperti diketahui bersama, institusi pendidikan sebagai lembaga yang menyelenggarakan proses berjalannya pendidikan tentu membutuhkan biaya untuk menunjang kemaslahatan lembaga, gaji guru atau perawatan gedung, dan berbagai biaya akomodasi lainnya.
Maka untuk menunjang hal tersebut didirikanlah Baitul Mal atau lembaga pengumpul dan penyalur harta dari kalangan umat Islam. Lembaga ini sudah berdiri sejak masa pemerintahan Rasulullah SAW.
Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Pada masa Abu Bakar ra, Baitul Mal difungsikan sebagai penyimpan kekayaan negara dan penyalur harta benda. Sumber keuangan Baitul Mal tersebut berasal dari wakaf, zakat, jizyah, kharaj, ghanimah, dan sumber-sumber yang lain.
Contoh lainnya di Cordoba, Spanyol, mengutip dari abusyuja.com, menjelaskan bahwa pada di zaman itu masjid-masjid dilengkapi madrasah, berikut berbagai fasilitas pendidikan lainnya. Kala itu lembaga-lembaga pendidikan di sana mampu menelurkan ulama sekaliber Al-Qurthubi, Asy-Syathibi, dll.
Tidak hanya ahli tafsir dan ushul, akademi pendidikan di era Khilafah juga berhasil melahirkan para pakar di bidang kedokteran seperti Ali ath-Thabari, Ar-Razi, Al-Majusi dan Ibn Sina; di bidang kimia seperti Jabir bin Hayyan; astronomi dan matematika, Mathar, Hunain bin Ishaq, Tsabit bin Qurrah, Ali bin Isa Al-Athurlabi dan lain-lain; geografi, seperti Yaqut al-Hamawi dan Al-Khuwarizmi; historiografi, seperti Hisyam al-Kalbi, Al-Baladzuri, dll.
Fakta sejarah di era keemasan Islam tersebut membuktikan, bahwa kualitas output pendidikan yang dihasilkan oleh Khilafah juga telah mendapatkan pengakuan dunia. Menariknya, pendidikan kelas satu seperti itu, sekali lagi ditekankan, diberikan dengan gratis alias cuma-cuma kepada seluruh warga negaranya. Karena itu, pendidikan gratis dan bermutu dalam sistem Khilafah bukanlah isapan jempol.
Artinya, pendidikan gratis tetapi bermutu bisa diwujudkan oleh Khilafah karena Khilafah mempunyai sumber pendapatan yang sangat besar. Selain itu, kekayaan milik negara dan milik umum dikelola langsung oleh negara yang hasilnya didistribusikan kepada rakyat melalui skim pembiayaan pendidikan, kesehatan dan layanan publik yang lain.
Dengan demikian, pungkas Maya, sudah sepantasnya negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat memberikan pendidikan berkualitas bagi tiap-tiap warga negaranya tanpa memandang status sosial maupun ekonominya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat