Tutupi Keterlibatan Aparat, Rekayasa Barang Bukti Jadi Pola Kerja dalam Kasus Km 50?

Mediaumat.id – Pengakuan mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Teddy Minahasa yang mengatakan bisa saja menghalangi penyidikan (obstruction of justice) dengan merusak atau menghilangkan alat bukti kamera pengawas seperti kasus Sambo dan kasus Km 50, menunjukkan bahwa merekayasa bukti untuk menutupi keterlibatan aparat, sudah menjadi pola kerja (job design) dalam institusi penegak hukum.

“Itu membuktikan bahwa modus operandi penghilangan barang bukti dalam sebuah peristiwa pidana untuk menutupi keterlibatan aparat negara atau justru merekayasa bukti sudah menjadi pola kerja dalam institusi mereka” ujar Advokat Aziz Yanuar kepada Mediaumat.id, Senin (1/5/2023).

Adalah mantan Kapolda Sumatra Barat Irjen Pol Teddy Minahasa yang sebelumnya menyinggung kamera pengawas atau CCTV kasus Ferdy Sambo dan KM 50 dalam persidangan kasus peredaran gelap narkoba di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (28/4).

Polisi bintang dua itu menegaskan bahwa dirinya secara kooperatif dan inisiatif meminta penyidik untuk menyita dekoder kamera pengawas di rumahnya guna membuktikan transaksi tersebut.

Artinya, bisa saja ia menghalangi penyidikan (obstruction of justice), dengan cara merusak kamera pengawas tersebut seperti kasus Sambo dan KM 50.

“Atau bahkan cepat-cepat saya rusak atau obstruction of justice sebagaimana kasus-kasus yang terjadi sebelumnya kasus Km 50 CCTV rusak, kasus Ferdy Sambo CCTV juga rusak, tetapi saya tidak merusak CCTV saya yang mulia, saya justru inisiatif menyerahkan kepada penyidik untuk disita,” ujar Teddy, ketika itu.

Sudah Biasa

Lebih, lanjut Aziz pun menilai, meski pernyataan Teddy tersebut tidak bermakna apa pun sebagai novum atau bukti baru tentang kasus Km 50, namun setidaknya bisa menjadi isu yang kembali bergulir.

“Tidak bermakna apa pun sebagai novum atau sesuatu yang baru. Cuma dari segi isu saja bergulir lagi,” sebutnya.

Karenanya, ia menduga kuat rekayasa di dalam suatu pengembangan perkara termasuk di kasus tewasnya enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) karena ditembak personel polisi di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50 pada Senin dini hari, 7 Desember 2020 lalu, sudah biasa dilakukan.

“Rekayasa kasus, case building untuk menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah diduga sudah biasa,” ujarnya.

Dengan kata lain, menurutnya, hukum telah dijadikan alat untuk melegitimasi kezaliman dan membungkam pihak yang tidak disukai. “Penegakan hukum bukan berdasarkan hukum dan untuk atau atas nama keadilan. Tapi atas dasar ketidaksukaan dan kebencian serta permusuhan,” jelasnya.

Lebih jauh, kata dia, penegakan hukum yang dijalankan di atas rel rekayasa dan kebohongan sebagaimana yang ia sebutkan, bakal menghancurkan keadilan di negeri ini.

“Hancur sudah keadilan dan penegakan hukum karena law by order (hukum jalan karena perintah penguasa) bukan law and order (hukum dan ketertiban),” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: