Turuti PBB Soal KUHP, Bisa Terjebak Cara Berpikir Sekuler!

Mediaumat.id – Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara menilai jika menuruti kritik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan Selasa, 6 Desember 2022 tanpa memiliki independensi konsep Islam maka kaum Muslim akan terjebak pada cara berpikir sekuler.

“Kalau kita menuruti kritik PBB atau mengikuti membabi buta tanpa memiliki independensi konsep yang digali dari Islam maka tentu bahayanya kita akan terjebak pada cara berpikir sekuler,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Ahad (11/12/2022).

PBB mengkritik KUHP tersebut karena salah satu pasal membuat mereka tidak bisa berperilaku secara bebas sesuai dengan salah satu poin Hak Asasi Manusia (HAM) adalah kebebasan berperilaku.

Padahal, prinsip-prinsip liberalisme yang ada di Barat sendiri sudah betul-betul merusak masyarakat mereka. Hanya saja, menurut Fika, mereka tidak pernah mau jujur mengakui itu dan terus menjadikan PBB sebagai alat.

Karena itu, Fika mengatakan, ketika pemerintah menuruti mereka tanpa mendengar pandangan para ulama, tanpa mendengar bagaimana pandangan syariah Islam yang benar tentu akan terus terjerat dalam ideologisasi standar norma-norma masyarakat dan sangat mungkin masyarakat akan mengalami problem sosial separah apa yang terjadi di negara-negara Barat.

Bermasalah

Ia menegaskan, KUHP ini bukan berdasar syariah Islam meskipun terkesan setuju dengan larangan berzina. Jika dilihat dari lensa syariah pasal tersebut tetap bermasalah. Ada dua masalah yang diungkap Fika.

Pertama, kalau polanya itu delik aduan jelas masyarakat itu bisa jadi dilindungi khususnya bagi yang mencari makan dari industri malam. Karena kalau polanya itu delik aduan memang tidak ada otoritas hukum yang bisa melakukan razia atau melakukan penggerebekan.

Selain itu, harus ada orang yang dirugikan dulu. Padahal, lanjut Fika masalah zina ini bukan masalah untung rugi satu pihak. Tapi ini masalah penyakit sosial yang harus diselesaikan oleh hukum Islam.

Kedua, dari sisi sistem sanksi sendiri tidak berdasarkan syariat Islam. “Ada begitu banyak poin yang sebenarnya  mereka hanya mengambil sepotong-sepotong seolah-olah memang setuju dengan syariah Islam, tapi pada dasarnya memang ini tidak mengambil dari syariah Islam. Tidak sesuai,” ungkapnya.

“Termasuk soal perkara LGBT, dari 624 pasal itu tidak ada satu pun pasal yang secara tegas melarang LGBT meskipun resistensi publik Indonesia yang mayoritas Muslim itu sangat resisten,” tambahnya.

Menurutnya jika pola penerapan sanksi untuk kriminalitas dalam hal susila ini dengan delik aduan atau dengan sanksi yang sangat ringan, ini justru membuat kalangan pelaku industri dunia malam yang banyak menjajakan jasa-jasa komersial PSK dan sebagainya itu akan semakin memproteksi bisnis mereka. Biasanya mereka punya jaring pengaman sosial yang kuat bahkan dibekingi oleh polisi.

Karena itu, Fika menilai KUHP baru ini justru membuka dan meluaskan amoralitas di masyarakat. “Bisa jadi KUHP baru ini malah justru membuka dan meluaskan amoralitas semakin besar di masyarakat,” pungkasnya.[] Ade Sunandar

Share artikel ini: