Mediaumat.id – Pernyataan pemerintah Singapura yang menuduh Ustaz Abdul Somad (UAS) memiliki paham ekstremisme dan segregasi, dipandang Peneliti dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Lutfhi Affandi, S.H., M.H. bukan hanya fitnah keji, tetapi sebagai bentuk kezaliman.
“Bukan hanya difitnah, tetapi kemudian ada kezaliman di situ. Lebih tepatnya mungkin difitnah dan dizalimi,” ujarnya dalam Kabar Petang: Deportasi UAS, Pemerintah Singapura Terpapar Islamofobia? Kamis (19/5/2022) di YouTube Khilafah News.
Apalagi sebagaimana diberitakan, Singapura telah menuding UAS berusaha memasuki negaranya dengan berpura-pura untuk kunjungan sosial pada Senin (16/5) lalu.
Padahal beberapa konten yang disinggung dan dipersoalkan Kemendagri Singapura dimaksud menurut Luthfi sebenarnya sudah lama dan bahkan sudah diklarifikasi oleh UAS.
Di antaranya, frasa peledakan diri seorang Muslim dalam mempertahankan Palestina yang dinilai UAS bukan bunuh diri, melainkan al-istisyhad atau upaya meraih syahid.
Kemudian, terkait patung salib sebagai tempat jin kafir. Dan berikutnya, penyebutan kaum non-Muslim dengan istilah kafir. “Itu di antaranya konten-konten yang dipermasalahkan oleh Ministry of Home Affairs atau Kemendagri Singapura,” terangnya.
Sehingga apabila pendeportasian UAS dari Singapura berdasarkan alasan-alasan tersebut, kata Lutfhi hal itu juga sebagai bentuk tindakan yang berlebihan.
Pasalnya, lanjut Luthfi, konten-konten ceramah beliau seluruhnya adalah menyangkut keyakinan atau pemahaman agama seorang Muslim yang memiliki landasan argumentasi jelas, kokoh dan diakui di dalam Islam.
“Terkait dengan al-istisyhad, terkait dengan bagaimana kemudian pandangan Islam terkait dengan masalah patung. Apalagi istilah penyebutan kafir, di dalam Islam itu adalah terminologi yang sangat khas di dalam Islam,” jelasnya.
Sehingga pula, pemahaman agama seseorang tidak boleh diintervensi, apalagi oleh pemerintah Singapura. “Lain halnya kalau kemudian misalnya UAS itu sudah melakukan rencana misalnya, atau tindakan yang mengarah kepada kekerasan atau terorisme,” tambahnya.
Sedangkan ini hanya sebatas pemahaman agama seseorang. Dan tegasnya kembali, tak terbukti memicu kepada tindakan kekerasan apalagi sampai kepada terorisme. “Sama sekali enggak ada,” tukasnya.
Isu Agama
Mengenai itu, Lutfhi memandang, yang dipersoalkan Singapura tersebut terkategori bagian dari isu agama yang senantiasa dihembuskan.
Malahan di beberapa kasus hukum, Singapura terkesan menjadi tempat yang paling nyaman bagi para koruptor. Sebutlah Harun Masiku berikut kasus suap komisioner KPU, Djoko Tjandra dengan kasus suap jenderal polisi hingga Jaksa Pinangki.
“Nazaruddin, dalam kasus Hambalang. Nunun Nurbaeti misalnya dalam kasus suap deputi senior BI, Gayus Tambunan juga pernah mampir ke Singapura,” ungkapnya dengan menambahkan pula Samadikun Hartono kasus BLBI dan Anton Tantular kasus Bank Century.
“Itu sudah jelas melakukan tindakan kriminal korupsi. Tetapi kenapa kemudian tidak dipersoalkan ataupun tidak dicekal atau kemudian tidak dideportasi misalnya,” sesalnya.
Maka itu ia merasa, pendeportasian UAS sama sekali tak punya alasan dan seolah atau terkesan memang dibuat-buat.
Islamofobia
Di sisi lain, ia juga melihat tindakan yang dilakukan Singapura kental sekali dengan islamofobia. “Semua alasan yang dikemukakan, semua reason yang dikemukakan, semua contoh yang dikemukakan itu adalah contoh-contoh terkait dengan keyakinan agama seseorang,” tandasnya.
Al-istisyhad, misalnya. Kata Lutfhi, seseorang meledakkan diri di tengah peperangan, sudah dijawab UAS, bahwa konteksnya itu di Palestina atau wilayah perang. “Bukan di Indonesia atau bukan di wilayah-wilayah kemudian damai,” timpalnya.
Pun memiliki landasan serupa dengan ketika kaum Muslim berjihad di Perang Badar maupun Uhud yang resikonya juga mati.
Istilah terdapat jin kafir di patung salib pun sama. “UAS menyatakan hal tersebut berdasarkan salah satu sabda Rasul SAW yang intinya, bahwa sungguh malaikat tidak akan masuk rumah dan masjid, jika dalamnya ada patung,” urainya.
Artinya, tegas Luthfi, beliau menjelaskan apa adanya berkenaan dengan hukum Islam.
Apalagi lanjut Lutfhi, UAS seringkali menyebut kaum non-Muslim sebagai orang kafir. “Lalu mau disebut apa, wong istilah di Qur’annya kafir kok. Bahkan di dalam Al-Qur’an itu ada surah al-Kafirun,” herannya.
Oleh karena itu, apabila tindakan Singapura tersebut dibiarkan, ia khawatir akan muncul persepsi bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada UAS menjadi standar kebenaran. “Oh, ini orang (UAS) bermasalah, padahal tidak bermasalah. Yang bermasalah adalah orang yang melarang,” sambungnya.
Sebab diakui atau tidak, menurut Lutfhi, UAS adalah representasi ulama, tokoh, cendekiawan Muslim, intelektual yang punya banyak pengikut, muhibbin atau para pecintanya.
Sehingga secara tidak langsung, perlakuan tidak baik terhadap UAS sejatinya menampar muka bangsa Indonesia yang dikenal dengan mayoritas Muslimnya. “Ironinya ini dilakukan oleh negara kecil seperti Singapura yang afiliasinya jelas kepada negara-negara kafir Barat,” imbuhnya.
Bahkan, kata Lutfhi, karena menyangkut marwah bangsa, pemerintah Indonesia seharusnya marah dengan menyatakan nota protes kepada pemerintah Singapura, misalnya. “Kecuali, kalau kemudian pemerintah Indonesia setuju dengan perlakuan Singapura,” tuturnya.
“Kecuali (pula) saya katakan, antara pemerintah Indonesia dengan Singapura memiliki pemahaman yang salah. Itu lain halnya” pungkasnya.[] Zainul Krian