Trump Mengakui Yerusalem Sebagai Ibu Kota Israel
AS secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, Presiden AS Donald Trump pada hari Rabu (6/12) mengumumkan menyingkirkan oposisi internasional berbasis luas. Demikian seperti dikutip dalam laman middleeastmonitor.com.
Dia juga mengarahkan Departemen Luar Negeri untuk memulai relokasi kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem, yang diklaim oleh orang Israel dan Palestina. Langkah ini diperkirakan akan memakan waktu beberapa tahun.
“Pengumuman saya hari ini menandai dimulainya sebuah pendekatan baru terhadap konflik antara Israel dan Palestina,” kata Trump dalam sebuah pidato publik dari Ruang Tamu Diplomatik di Gedung Putih.
“Tentu saja akan ada ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat mengenai pengumuman ini – namun kami yakin pada akhirnya, saat kami mengatasi ketidaksepakatan ini, kami akan sampai pada tempat yang memiliki pemahaman dan kerjasama yang lebih baik,” katanya. “Ini tidak lebih dari sekadar pengakuan akan kenyataan.”
Keputusan Trump menempatkan AS bertentangan dengan kebijakan Amerika selama puluhan tahun, dan juga seluruh masyarakat internasional, kecuali Israel. Tidak ada negara yang memiliki kedutaan besarnya di Yerusalem. Hal ini juga cenderung menghalangi upaya untuk memulai kembali perundingan damai Israel-Palestina yang terhenti.
Di akhir masa pemerintahan mantan Presiden Barack Obama, Menlu AS John Kerry mengatakan bahwa warga Palestina memiliki klaim bersama terhadap kota suci tersebut.
Langkah kontroversial Trump hampir pasti menggagalkan perundingan perdamaian antara Palestina dan Israel. Warga Palestina telah berjuang untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Kota ini telah diduduki oleh Israel sejak 1967.
Para pemimpin Palestina telah menyerukan tiga “hari kemarahan” untuk menanggapi keputusan Trump.
Yerusalem dianggap kota suci bagi orang Yahudi, Kristen dan Muslim, dan perubahan status quo kota yang diperebutkan telah mendapat tentangan keras.
Keputusan Israel untuk membatasi akses Muslim ke kompleks masjid al-Aqsa pada tahun 2015 memicu kekerasan jalanan yang meluas antara orang-orang Palestina dan pasukan keamanan Israel. Dan keputusan Israel untuk memasang detektor logam kontroversial di pintu masuk masjid awal tahun ini akhirnya berbalik setelah mendapat protes massa oleh warga Palestina.[]