Trump, Kisruh Dunia, dan Gagasan Khilafah dalam Politik Global

 Trump, Kisruh Dunia, dan Gagasan Khilafah dalam Politik Global

Kebijakan tarif Trump belakangan ini membuat ekonomi dunia bergejolak.  Sebenarnya tidak ada rumus ekonomi mana pun yang membenarkan keputusan Trump.  Sebab tidak hanya ekonomi negara-negara yang selama ini berhubungan dengan Amerika yang terganggu. Masyarakat AS sendiri justru terancam harus membeli lebih mahal bermacam-macam produk akibat tarif tinggi terhadap barang impor yang masuk ke AS. Inflasi akan segera menghantui pasar dalam negeri AS. Selain konsumen yang dirugikan, para pengusaha akan mengalami kesulitan produksi karena harga bahan baku yang naik. Akibatnya dunia usaha dapat menjadi tidak bergairah karena daya beli masyarakat yang melemah karena gelombang inflasi.

Jika bukan karena alasan ekonomi, lantas mengapa kebijakan itu muncul. Apakah didorong oleh kecerdasan Trump atau justru kebodohannya. Namun banyak pengamat yang memperkirakan kebijakan tarif adalah alat negosiasi dan penekan terhadap negara-negara lain. Mempertontonkan arogansi AS terhadap dunia bahwa ekonominya yang ditopang kekuatan sains dan militer masih perkasa dan berpengaruh global. Benar saja. Banyak negara-negara yang terkena tarif mulai berdatangan untuk bernegosiasi. Trump mengakui sudah 50 negara yang menghubungi dan menawarkan kompensasi. Hanya Kanada, Uni Eropa, dan China yang melakukan retaliasi (pembalasan tarif serupa).

Amerika memang masih memiliki pengaruh besar sehingga wajar jika kebijakannya masih diperhitungkan secara internasional. Amerika masih berkontribusi sangat besar terhadap GDP global di tahun 2023 yakni sebesar 26,11%. Menjadikannya sebagai pasar yang menggiurkan banyak negara pengekspor. Apalagi pasar Amerika sangat konsumtif dipicu gaya hidup konsumerisme dan standar hidup yang sangat tinggi dibanding negara-negara lain. Pun ditopang tingkat kemakmuran di atas rata-rata, konsumen di AS memiliki daya beli yang tinggi.  Mata uang dolar juga masih menjadi cadangan mata uang dunia dan dipakai sebagai alat transaksi internasional.

Pengaruh globalnya yang besar tidak hanya di bidang ekonomi termasuk juga kekuatan militer menjadikan arogansi AS masih sulit dibendung. Ukraina didikte agar menyerahkan hasil tambang tanah jarang sebagai kompensasi bantuan besar AS selama ini dalam mendukung perang melawan Rusia. Yaman dibombardir karena dituduh kerap mengganggu jalur perdagangan internasional. AS secara sepihak memutus pendanaan, perjanjian maupun keanggotaannya dalam berbagai organisasi internasional. Belakangan pendanaan USAID dihentikan. USAID selama ini menjadi alat hegemoni soft power Amerika di berbagai belahan dunia dengan berbagai pendanaan bagi banyak aktivitas sosial, politik, kesehatan, dan lingkungan. Negara-negara muslim pun masih tak berdaya dan tunduk dengan kemauan Amerika meski telah jelas dan terang menyakiti kaum muslimin.

Tentu yang paling memuakkan adalah dukungan tanpa henti AS terhadap kebiadaban Israel di Palestina. Sepanjang Ramadhan bahkan Idul Fitri, Israel tak berhenti meneror Gaza. Seolah tak peduli dengan nyawa ratusan ribu orang yang telah menjadi korban, Trump datang dengan ide kontroversi untuk merelokasi warga Gaza keluar dari sana. Ia melobi Mesir dan Yordania agar mau menerima pemindahan penduduk Gaza. Setelah itu Amerika akan mengambil alih Gaza untuk dilakukan pembangunan menjadi kawasan wisata dunia. Rencana gila yang tentu saja dikecam dunia. Rakyat AS sendiri yang masih punya akal sehat mengecam keras dukungan tanpa henti AS terhadap kekejian Israel.

Panas oleh berbagai unjuk rasa dan penolakan hubungan AS dan Israel, kebijakan deportasi diperluas tidak hanya terhadap para imigran gelap dan pelaku kriminal. Kini para mahasiswa internasional yang terlibat demonstrasi mengecam Israel ditangkap dan dicabut izin visanya. Lebih jauh, sikap paranoid ini diberlakukan juga terhadap para pemohon visa baru untuk masuk AS. Akun media sosial para pemohon visa akan diperiksa apakah pernah mengunggah sikap kebencian terhadap AS dan Israel sebagai syarat mendapatkan izin visa.

Tindak tanduk arogan AS dan Trump semakin mempertajam gesekan dunia internasional. Banyak yang khawatir perang dagang yang merupakan perebutan pengaruh akan berubah menjadi perang fisik. Banyak negara mulai membangun blok-blok persekutuan baru. BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan South Africa) yang awalnya hanya terdiri dari 5 negara menjadi semakin menarik bagi banyak negara lain. Beberapa negara Asia dan Afrika lainnya bergabung sehingga menjadi BRICS+. China mulai melakukan konsolidasi dengan kunjungan Presiden Xi Jinping ke negara-negara Asia Tenggara. Seraya mengultimatum negara-negara yang memilih jalan negosiasi dengan AS agar tidak mengorbankan kepentingan dengan China. Sedangkan Uni Eropa sudah sejak lama menjadi kawasan yang bersaing dengan Amerika.

Melihat konstelasi internasional yang semakin  tersegmentasi, harusnya negeri-negeri Muslim dapat memanfaatkan celah ini untuk juga berkonsolidasi. Menyatukan visi yang selama ini terpecah. Konsolidasi tidak hanya mempererat perdagangan di antara sesama negeri muslim. Tidak hanya sekedar membangun sistem pembayaran di antara negara-negara muslim tanpa bersandar pada dolar. Tidak juga sekedar membangun aliansi ekonomi mandiri kawasan. Tapi harus lebih jauh. Membangun kekuatan politik yang menyatukan seluruh sumber daya negeri-negeri muslim. Sebab kebangkitan itu tidak akan pernah benar-benar terwujud jika hanya bertumpu pada kemandirian ekonomi saja. Melainkan memerlukan sistem Islam yang kaffah dan institusi yang perkasa dan mempunyai kapasitas menyatukan seluruh dunia muslim dengan segala potensinya. Di sinilah Khilafah semakin menemukan relevansinya. [].

Muhammad K (Founder ISGOV – Islamic Governance Initiative)

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *