Transformasi Industri Berkemajuan di Indonesia Antara Mitos dan Realitas
Oleh Lukman Noerochim – Stafsus Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI)
Pemerintah mengklaim, sebanyak 328 industri manufaktur siap bertransformasi ke era industri 4.0. Hal tersebut ditandai dengan adanya keikutsertaan mereka dalam mengikuti penilaian Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (Indi 4.0). dari hasil self-assesment Indi 4.0, industri di Indonesia cukup siap untuk bertransformasi menuju indsutri 4.0.
Adapun Indi 4.0 terdiri atas lima pilar, yaitu manajemen dan organisasi (management and organization), orang dan budaya (people and culture), produk dan layanan (product and services), teknologi (technology), dan operasi pabrik (factory operation).
Pertinyiinnyi
Apakah Indonesia memiliki kemandirian dalam segala bidang, termasuk di bidang industri? Jika Indonesia ingin menjadi negara industri maju sebab karakternya sebagai negara ideologis, baik dalam konteks politik domestik maupun global.
Sudahkah Indonesia menjadi negara mandiri, tidak bergantung kepada yang lain, dalam menggerakkan roda ekonomi dan industrinya, serta tidak bergantung pada impor, atau menjadi pasar konsumtif bagi industri negara-negara asing, terutama negara penjajah?
Apakah Indonesia hari ini memiliki independensi dalam menjaga keamanannya, mempunyai industri persenjataan dan logistik perang sendiri?
Ingat, setiap negara industri maju mempunyai kebijakan perindustrian yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Karena itu, jika Indonesia ingin menjadi Negara maju maka harus memiliki kedaulatan di SEGALA BIDANG. Tidak disetir korporasi, Amerika Serikat, China , Inggris, Rusia maupun Negara-negara kapitalis lainnya.
Bila Demikian
Jika Indonesia memiliki kedaulatan yang hakiki dituntun oleh konsep al qur’an dan as sunnah, pasti berhasil. Selanjutnya negeri ini harus dilakukan revolusi industri, di mana kebijakan di bidang perindustrian yang selama ini bertumpu pada industri konsumtif, diubah menjadi industri strategis. Sekaligus menjadikan industri strategis ini sebagai basis perindustrian. Untuk mewujudkannya hanya ada satu cara, yaitu membangun industri peralatan atau membangun industri yang memproduksi alat-alat, yang biasanya dikenal dengan industri alat berat. Dari industri inilah kemudian industri-industri lain bisa dikembangkan.
Contoh menarik adalah Uni Soviet. Ketika Lenin diminta untuk mereformasi industri pertanian dengan mendatangkan peralatan dari Barat, dengan tegas dia menyatakan, “Kita tidak akan menggunakannya, sampai kita bisa memproduksi sendiri.” Sejak saat itu, Uni Soviet terus melakukan revolusi industri dan berhasil menjadi negara nomer satu di bidang industri kemiliteran sehingga tampil menjadi adidaya bersama Amerika.
Ini dari aspek politik industri negara. Adapun dari aspek revolusi industrinya, maka ini merupakan perubahan mendasar di bidang industri di dalam negeri dan seluruh level yang dibutuhkan oleh industri peralatan, pertahanan dan keamanan, elektronik, satelit dan lain-lain. Begitu Khilafah berdiri, industri berat ini harus seketika itu juga dibangun, dan tidak boleh santai sebelum benar-benar menguasai hulu, bahkan kalau perlu hingga hilirnya. Semua potensi ekonomi harus diarahkan ke sana guna membangun industri peralatan, dengan tetap melanjutkan industri yang sudah ada, seperti industri konsumtif, meski dengan catatan tidak boleh ada penambahan, sebelum target industri berat ini tercapai. Karena seluruh industri, baik yang dimiliki oleh negara maupun individu, harus tunduk kepada politik industri negara, yaitu industri pertahanan dan keamanan.
Khilafah?
Politik dan revolusi industri di atas tidak mungkin bisa diwujudkan oleh negara Khilafah, kecuali dengan sejumlah langkah, antara lain, negara harus membuka pusat-pusat kajian dan riset, pelatihan dan laboratorium untuk mengajarkan sains industrial enginering, baik teori maupun terapan, seperti industri eksplorasi, penambangan, pengolahan dan kimia. Semuanya ini digunakan untuk menopang industri berat serta industri pertahanan dan keamanan negara.
Perlu dicatat, bahwa industri pertahanan dan keamanan ini sudah dikembangkan pada masa awal Islam. Pada masa Nabi, pedang, tombak, panah, perisai, manjaniq (pelontar batu) dan dababah (sejenis tank yang terbuat dari kulit) adalah alutsista negara pada waktu itu. Alutsista ini sudah digunakan kaum Muslim pada zamannya. Mereka bahkan bisa memproduksinya sendiri, dengan bahan baku yang tersedia.
Pada zaman Harun ar-Rasyid, Khalifah Abbasiyyah, sudah diciptakan jam sebagai penunjuk waktu. Ketika Charlement, Raja Eropa saat itu, mendapat hadiah darinya, kemudian jam itu berdetak lalu mengeluarkan bunyi, permaisuri Raja saat itu mengira jam tersebut dihuni banyak jin Efrit. Pada zaman Sultan Muhammad al-Fatih, Khilafah Utsmaniyyah, dia membiayai ilmuan penemu alutsista untuk mengembangkan penemuannya, yang semula diajukan kepada Raja Eropa, tetapi tidak direspons. Dia pun berhasil membuat meriam raksasa yang beratnya 700 ton, dengan berat mesiu 12.000 rithl, ditarik oleh 100 kerbau dan dibantu 100 orang yang gagah perkasa. Jauh lontarannya sejauh 1 mil, dengan kedalaman 6 kaki. Suara ledakannya terdengar dari jarak 13 mil. Meriam ini telah digunakan untuk menghancurkan tembok Konstantinopel, ketika ditaklukkan oleh sang Sultan.
Ini merupakan gambaran nyata tentang bagaimana politik industri negara harus dijalankan. Politik yang didasarkan pada industri pertahanan dan keamanan (as-shinâ’ah al-harbiyyah).[]