(Tanggapan Atas Pernyataan KH. Said Aqil Siradj Bahwa Masalah Palestina Bukanlah Masalah Agama)
Oleh : Achmad Fathoni (Direktur el-Harokah Research Center)
Upaya Israel menduduki Yerusalem merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak bangsa Palestina. Okupasi wilayah itu, sudah melanggar Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB. Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj. “Masalah bukan agama, tetapi pelanggaran HAM dan hak bangsa Palestina. Dan menghina menginjak resolusi PBB. Resolusi selalu diinjak-injak dan tidak digubris,” tutur Said, Jum’at (15/12/2017)(http://m.tribunnews.com/amp/nasional/2017/12/15/said-aqil-konflik-israel-palestina-bukan-masalah-agama).
Tentu saja pernyataan tersebut patut disayangkan oleh publik, terutama umat Islam. Pasalnya pernyataan tersebut sangat insinuative (menyederhanakan persoalan) dan tidak sesuai dengan fakta historis serta bertentangan dengan pandangan Islam. Pandangan bahwa persaolan Palestina hanya sekedar persoalan kemanusiaan dan pelanggaran HAM, itu hanya mengikuti skenario Barat, yang justru akan memperpanjang derita kaum muslimin di sana, bahkan akan melanggengkan penjajahan Zionis Israel terhadap Palestina yang merupakan wilayah Islam, tanah wakaf, tanah kharajiyah, yang menjadi milik kaum muslimin hingga hari kiamat nanti. Memang, tidak bisa dipungkiri selama pendudukan Israel sejak tahun 1948 terhadap wilayah Palestina banyak terjadi pembantaian, pembunuhan, pengusiran, dan tindakan keji lainnya yang dilulakukan oleh Zioinis Israel, namun akar masalahnya bukanlah sekedar pelanggaran HAM dan tragedi kemanusiaan semata. Tetapi merupakan tindakan illegal, dan perampasan terhadap tanah kharajiyah yang menjadi milik kaum muslimin, sejak dibebaskan oleh kaum muslimin ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab dari tangan Kerajaan Romawi. Sehinnga upaya menyederhanakan urusan Palestina hanya merupakan urusan rakyat Palestina dengan Israel saja, yang tidak dikaitkan urusan Islam dan kaum muslimin seluruhnya, harus ditolak dan ditentang secara keras.
Dalam hal ini, patutlah publik mengingat kembali sikap Dr. Mohammad Natsir, tokoh umat dan bangsa ini yang sejak dulu memiliki kepedulian terhadap nasib umat Islam di Palestina. “Soalnya bukan sepotong tanah bernama Palestina. Soalnya kita menghadapi satu gerakan akidah, gerakan kepercayaan yang beraksi secara teratur dan tertib, bukan di satu tempat saja, tetapi di seluruh dunia. Kita berhadapan dengan satu gerakan agama yang beraksi politik internasional, yang satu sama lain saling membantu,” kata Natsir. Natsir yang sudah sejak tahun 1950-an sudah menyuarakan pembelaannya terhadap umat Islam di Palestina dalam konferensi-konferensi internasional, baik yang diselenggarakan oleh Liga Dunia Islam (Rabithah al-Alam al-Islam) ataupun Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, menyatakan, “Palestina adalah soal Islam dan soal umat. Kita harus melihat bahwa soal Palestina itu bukanlah soal lokal, bukanlah soal orang Arab, bukanlah semata-mata soal teritorial, tetapi adalah soal Islam dan umat Islam seluruhnya.” (Sumber: Natsir, Masalah Palestina, Jakarta: Penerbit Hudaya, 1971. Natsir, approach Baru Masalah Penjelesaian Palestina, Penerbit: Corp Mubaligh Bandung (C.M.B) Biro Penerbitan dan Penjiaran, 1970).
Palestina merupakan tempat yang disucikan Allah SWT, kiblat pertama kaum muslimin, yang terikat erat dengan akidah Islam. Ini tanah Isra’ dan Mi’raj, ini adalah tanah tempat Nabi Muhammad SAW memimpin semua Nabi dalam shalat, ini adalah tanah yang dibebaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab, ini adalah tanah yang dibebaskan oleh Shalahudin al-Ayyubi dari tentara salib dan tanah yang dipertahankan oleh Khalifah Abdul Hamid II dari Zionis pada tahun 1901. Kenyataannya adalah bahwa Palestina adalah tanah Islam dan telah menikmati kedamaian dan ketenangan di bawah pemerintahan Khilafah Islam sejak puluhan abad yang lalu. Ini adalah tanah kaum Muslimin dan tidak ada yang berhak menyerahkannya kepada orang lain. Namun, saat ini tanah itu di bawah cenkeraman penjajah Negara Yahudi Israel, yang berdiri di tanah Palestina dengan dukungan konspirasi negara-negara sekuler internasional, antara lain Inggris, Perancis, dan Amerika yang berkolaborasi dengan para penguasa boneka di negeri-negeri Muslim.
Bagaimana sikap kaum Muslimin terhadap penguasaan Palestina oleh Zionis Israel kini, sangat ditentukan oleh pemahaman mereka terhadap kedudukan tanah Palestina itu sendiri. Wilayah itu dikuasai Islam dengan damai. Orang Nashrani-lah yang secara suka rela menyerahkan kunci kota Yerusalem (disebut juga ‘Ilia) kepada Khalifah Umar bin Khattab. Ketika itu, tepatnya pada tahun 636 M, diwakili tokohnya Pendeta Patriarch Shafarniyus, kaum Nashrani Yerusalem bersama Khalifah Umar bin Khattab telah menandatangani suatu perjanjian yang dikenal dengan “Piagam ‘Illia atau Perjanjian Umariyah”. Isinya: “Dengan nama Allah, Maha Pengasih dan Penyayang. Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin, kepada penduduk ‘Illia tentang keamanan. Ia memberinya keamanan untuk jiwa dan harta mereka, untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, juga untuk orang yang sakit dari mereka dan yang sehat, serta untuk seluruh komunitasnya. Dan tidak akan diizinkan tinggal bersama mereka, seorang pun dari orang Yahudi.”
Khalifah Umar bin Khattab melanjutkan melanjutkan kebijakan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW mengusir orang-orang Yahudi dari Jazirah Arab. Dan itu dilakukan Khalifah Umar juga atas permintaan orang-orang Nashrani di kota Yerusalem kala itu. Dan kini 14 abad berselang, seluruh dunia tahu, Israel adalah perampas tanah Palestina, tanah suci umat Islam. Israel merampas tanah Palestina dengan dalih melaksanakan amanat Tuhan yang telah menjanjikan wilayah itu untuk mereka. Mereka berbuat begitu seolah telah menerima peta wilayah Palestina yang ditandatangani untuk mereka. Klaim ini dibantah keras oleh Roger Geraudy, intelektual Kristen Perancis yang kini masuk Islam, dalam buku Zionisme: Gerakan Agama dan Politik, tidak terbukti secara historis, antropologis, maupun injilis. Artinya, dari pengkajian sejarah tidak pernah ditemukan nenek moyang bangsa Yahudi yang tinggal di daerah itu, apalagi bila disebut sebagai yang pertama. Suku bangsa Filistin justru yang paling dulu tinggal di tanah Palestina. Lalu secara antropologis juga terbukti bahwa orang Yahudi datang ke sana lebih akhir karena mereka mengalami diaspora (penyebaran) setelah dikejar-kejar oleh Nazi. Dan terakhir, tidak ada secuil pun dalil-dalil dari kitab Injil baik Perjanjian Lama maupun Baru yang menunjuk mereka harus tinggal di wilayah Palestina, apalagi dengan cara licik, dengan merampas, dan mengusir penduduk asli Palestina. Dari situ dapat disimpulkan bahwa Negara Zionis Israel berdiri di atas khayalan dan dusta serta darah dan air mata bangsa Palestina.
Sudah saatnya kaum Muslimin tidak meminta pemerintahan Trump atau pemerintah Barat lainnya untuk menghentikan pengakuan atas Yerusalem sebagai ibukota Negara Israel. Termasuk juga sia-sia untuk meminta penguasa negeri-negeri Muslim, yang sangat inferior terhadap Barat, untuk bertindak tegas atas nama umat Islam untuk melawan Israel. Kaum Muslimin perlu memandang, dengan cara pandang yang tepat, yaitu bahwa tragedi Palestina adalah isu Islam dan sudah saatnya umat Islam membuang solusi palsu, sekuler, dan tidak syar’i yang ditawarkan Barat untuk masalah Palestina, yang justru akan meminggirkan peran Islam dan kaum Muslimin. Solusi komprehensif, yang sesuai dengan akidah dan syariat Islam adalah mewujudkan kembali pemerintahan Islam di negeri-negeri Muslim di bawah Khilafah yang lurus, yang berjalan di atas metode kenabian. Khilafah adalah cara untuk menyatukan umat, sumber daya, dan kekuatan umat Islam untuk membebaskan dan membela umat Islam Palestina dan wilayah-wilayah Muslim lainnya. Juga dengan khilafah itulah, yang akan menyerukan jihad fii sabilillah melawan Negara Zionis Israel, hingga terusir dari tanah kaum muslimin, Palestina. Hingga eksistensi Israel bisa dilenyapkan sampai ke akar-akarnya di seluruh dunia. Wallahu a’lam.[]